SUPRIJADI (1923-1945)

Pusjarah TNI–Suprijadi dilahirkan di Trenggalek, Jawa Timur pada tanggal 13 April 1923. Ayahnya P. Darmadi seorang pegawai pamong praja. Ia mendapat pendidikan dari Hollandse Inlandse School (HIS), Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO), Algemene Middelbare School (AMS).

 Setelah menyelesaikan pendidikannya di AMS hatinya terpanggil untuk mengikuti pendidikan kemiliteran. Suprijadi mengikuti pendidikan latihan semi militer (Seinen Dojo) di Tangerang pada jaman Jepang. Ia pun kemudian setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan perwira Peta di Bogor dan kemudian menjadi anggota Bonei-Gyugun, dan ditempatkan sebagai Pasukan Pembela Tanah Air (Peta), Kediri Syu dengan jabatan Shodanco pada Dai III Daidan, Dai III Cudan, Dai I Shodan di I-III, pasukan Peta di Blitar sebagai Komandan.

Ketika menjadi Shodanco, ia pernah ditugasi ke luar daerah Gokasi, untuk membuat perbentengan di pantai selatan yang dikerjakan oleh para romusha. Supriyadi sebagai putra Indonesia yang menjadi anggota Tentara Peta melihat dan ikut merasakan penderitaan para romusha. Mereka melihat bagaimana penderitaan para romusha-romusha bekerja keras. Banyak diantara para romusha-romusha tersebut mati akibat kelelahan dan kekurangan makanan dan penyakit malaria.

Pada tahun 1944, Daidan Blitar juga mendapat tugas membuat perkubuan di Lembang Ngantang antara Gunung Kelud dan Gunung Anjasmoro. Mereka melihat penderitaan romusha yang datang dan mati. Sampai akhir tahun 1944 desa-desa di sekitar perkubuan-perkubuan tersebut semakin berkurang manusianya, karena semakin banyak korban yang jatuh setiap harinya. Kurangnya daya tahan fisik para romusha pria terpaksa ditambah dengan mengerahkan romusha-romusha wanita. Rasa amarah benci terhadap Jepang mencapai puncaknya.

Dalam situasi yang sedemikian itulah terdengar desas desus yang mula-mula lembut, tetapi semakin lama makin santer juga, bahwa tentara Peta mau melawan Jepang dan mencapai kemerdekaan “Bersiaplah” menjadi semboyan yang dibisikkan dari Cudan ke Cudan, dari Shodan ke Shodan, dari Budan ke Budan.

Keadaan yang demikian membuat para anggota Tentara Peta di Blitar ingin melakukan perlawanan terhadap Jepang. Sebagai awal dari pemberontakan tersebut, para tentara Peta Blitar mulai mengadakan rapat-rapat rahasia. Dalam rapat itu Suprijadi mengatakan, bahwa semua yang menghadiri rapat adalah sederajat, tidak ada perbedaan pangkat, karena itu diantaranya supaya segenap hadirin membuka tanda pangkatnya masing-masing. Kemudian ia memulai uraiannya, yang pokoknya adalah betapa rakyat menderita di bawah tindasan Jepang sebagaimana dapat disaksikan oleh semua anggota tentara Peta Daidan Blitar pada waktu bertugas di luar kota. Uraian itu mencapai klimaksnya pada pertanyaan, apakah segenap yang hadir setuju jika semua mengadakan pemberontakan terhadap Jepang. Pertanyaan itu dijawab dengan spontan, “Setuju”, oleh segenap hadirin.

Pada pertengahan bulan Januari 1945 kembali dilangsungkan rapat, pada saat seluruh Daidan berkumpul di Blitar untuk kemudian diberangkatkan ke Tuban. Dalam rapat itu disusun rencana pemberontakan bersama 10 Daidan yang akan mengadakan latihan di Tuban. Sesudah seminggu berada di Tuban, Daidan Blitar diperintahkan pulang, karena latihan dibatalkan. Rupa-rupanya Jepang telah mengetahui akan adanya bahaya yang akan timbul, sehingga mereka menganggap untuk meniadakan pengumpulan sekian banyak Daidan pada satu tempat.

Pada tanggal 1 Februari 1945 malam pukul 23.30, Suprijadi menyelenggarakan rapat. Dalam rapat itu ia mendesak kepada kawan-kawannya untuk mencetuskan pemberontakan pada malam itu juga. Alasannya ialah karena menurut dugaannya rencana mereka telah diketahui oleh Kempetai. Rapat tidak menyetujui dengan alasan bahwa para anak buah masih letih karena baru pulang dari perjalanan jauh.

Pada tanggal 9 Februari 1945 Suprijadi sekali lagi memanggil kawan-kawannya untuk mengadakan rapat. Dalam rapat itu sekali lagi ia mendesak supaya pemberontakan dicetuskan malam itu juga. Pada waktu itu rapat tidak menyetujui usulnya. Alasan yang dikemukakan, karena belum ada jawaban yang konkrit dari Daidan-Daidan lain mengenai kesanggupan mereka.

Pada tanggal 13 Februari 1945 malam pukul 23.00, Suprijadi yang sejak tanggal 11 Februari 1945 tidak kembali ke asrama, tampak memasuki asrama. Daidan dari depan dengan hanya berpakaian kemeja coklat muda lengan pendek, dengan memakai sarung merah yang sudah usang yang diikat setinggi lutut. Di punggungnya terselip sebilah keris yang terkenal sebagai keris pusakanya, di tangan kiri memegang pedang opsir yang disarungkan, sedang di tangan kanan menggenggam pistol.

Segera Suprijadi mengadakan rapat dengan kawan-kawannya. Dalam rapat itu Suprijadi sekali lagi mengajak kawan-kawannya untuk mencetuskan pemberontakan malam itu juga. Ia berkata bahwa sudah terdapat banyak bukti yang menunjukkan bocornya rahasia mereka. Dengan demikian sebentar lagi mereka semua akan ditangkap oleh Kempetai dan besar kemungkinannya akan dipidana berat dan bahkan dibunuh. Karena itu, menurut Suprijadi daripada mereka ditangkap dan dibunuh dengan sia-sia lebih baik mereka melaksanakan pemberontakan. Selanjutnya Suprijadi mengatakan, jangan sampai negeri kita didominionkan, jangan sampai kemerdekaan itu dihadiahkan, tetapi harus kita rebut dengan kekuatan senjata. Dalam rapat itu mereka setuju untuk mencetuskan pemberontakan. Pada rapat itu dengan resmi kekuatan pemberontakan dibagi menjadi 3 (tiga) rombongan yang mempunyai missinya sendiri-sendiri.

1.         Rombongan di bawah S. Djono, Syodanco akan bergerak menuju ke Tulunggagung, Trenggalek, Ponorogo, terus ke Madiun.

2.         Rombongan di bawah pimpinan Moeradi dan Soepardjono, Syodanco akan bergerak menuju Pare, Kertosono dan terus ke Madiun.

3.         Rombongan di bawah pimpinan Suprijadi, Syodanco yang akan menuju ke Malang.

Pada tanggal 14 Februari 1945 pukul 03.00, tembakan dilepaskan. Pemberontakan datang dari Suprijadi yang mengoper pimpinan Dai III Cudan untuk melakukan penembakan. Penembakan dilakukan 2 tekidanto (mortir) masing-masing oleh Katam : Giyuhei dan Toekiman Giyuhei masing-masing dari Soedarmo Bundan, Oemar Bundan keduanya dari Dai 3 Shodan, Dai III Cudan. Tembakan dilakukan dari sudut lapangan dan sebelah timur di depan kamar komandan Dai III Cudan. Tembakan mortir disusul oleh tembakan-tembakan jukikanju atau senapan mesin, tembakan ditujukan ke rumah Shidokan dan gedung Kempetai.

Selesai melakukan penembakan pasukan dipecah atas beberapa rombongan. Rombongan ada yang menuju ke utara, ada yang ke timur, ke selatan dan ada yang ke barat laut. Sedang Suprijadi sendiri termasuk membagi pasukan Dai III Cudan atas rombongan utara dan timur. Mula-mula rombongan timur diserahkan kepada Soenanto, Bundanco dan kemudian ia mengikuti rombongan Soenardjo menuju ke utara. Setelah meninggalkan asrama, rombongan bergerak ke utara melewati jalan-jalan perkebunan, kemudian membelok ke barat, menyeberangi jalan yang menuju ke Panataran dan berjalan menuju ke utara. Pada waktu fajar menyingsing mereka telah sampai di sebelah selatan desa Krenceng tempat Kiai Haji Ngabdullak. Sebelum memasuki desa Suprijadi meminta diri hendak berjalan ke Gandusari, untuk menemui rombongan timur yang dipimpin oleh Soenanto. Ia pergi beserta dua orang pengawalnya, sejak saat itu tidak diketahui lagi dimana Suprijadi berada. Setelah Indonesia merdeka yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, maka pada tanggal 5 Oktober 1945 melalui siaran radio dan surat kabar, pemerintah mengumumkan dekrit pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Yang ditunjuk menjadi pimpinan tertinggi TKR pada tanggal 20 Oktober 1945. Namun jabatan ini tidak pernah dijabatnya, karena sejak pemberontakan Peta di Blitar tidak pernah lagi diketahui di mana keberadaan Supriyadi.

Kenali Sejarahmu

Cintai Bangsamu

Salam Sejarah

Pusjarah TNI

Jl. Gatot Subroto Kav. 16

Leave a Reply

Your email address will not be published.