Prof. drg. Moestopo : Antara Kedokteran dan Militer
Prof. drg. Moestopo merupakan manusia Indonesia yang tercatat dalam Sejarah Indonesia sebagai pemilik gelar terbanyak. Dari Mayor Jenderal TNI (Purnawirawan), Profesor, Dokter, OS, ORTH, OPDENT, PROSTH, PEDO/DHE/BIOL/PANC, Bapak Publistik Ilmu Komunikasi, Bapak Ilmu Kedokteran Gigi Indonesia, Bapak Ilmu Bedah Rahang Indonesia, Penyandang Maha Putera Utama dan Pengawal Pancasila. Beliau lahir pada tanggal 13 Juni 1913 di Ngadiluwih (Kota Kediri) dari pasangan R. Moentoro Koesoemowinoto dengan Ny. Indoen Soekidjah. Sejak usia 5 tahun, Moestopo kecil harus tinggal bersama pamannya yakni R. Kusumo Adinoto, Bupati Kediri. Setelah lulus dari Holland Indische School (HIS), Beliau meneruskan pendidikannya di MULO yang dibiayai oleh kakak-kakaknya. Selanjutnya , Beliau masuk ke HIK (Sekolah Keguruan atau Onderbouw).
Sekolah Kedokteran Gigi (STOVIT/ School Tot Opleiding van Indische Tandarsten) Surabaya menjadi tempatnya menempuh pendidikan tinggi. Diusianya yang baru 24 tahun Beliau sudah mendapatkan gelar dokter gigi dari tahun 1937. Ditahun yang sama Moestopo menjadi Asdos (Asisten Dosen) dari Prof. Dr. M. Knap di Bidang Ortodonsia dan Konservasi Gigi STOVIT Surabaya hingga tahun 1941, baru kemudian menjadi Asisten Direktur STOVIT Surabaya serta Kepala Bagian Klinik Gigi CBZ (Rumah Sakit Umum) Surabaya. Saat pecah perang antara Jepang dengan Belanda, Prof. M. Knap sibuk di medan perang sehingga Moestopo diangkat menjadi Wakil Direktur STOVIT yang dipimpin oleh Prof. Dr. Van Zeben.
Pada tahun 1942 ketika Jepang datang menguasai Indonesia, Moestopo pernah ditangkap oleh Kempetai (Polisi Rahasia Jepang) karena dicurigai sebagai keturunan Belanda-Indonesia atau Indo. Nyatanya kecurigaan tersebut tidak lah benar sehingga Moestopo dibebaskan. Di tahun yang sama, Moestopo diangkat menjadi Wakil Dekan Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi (Sikka Daigaku Sikabu) di Surabaya.
Bukan hanya fokus pada kedokteran, Beliau juga mendapatkan pelatihan PETA (Pembela Tanah Air) selama 120 hari, seangkatan dengan Soedirman dan Gatot Subroto. Selama pelatihan Beliau menyempatkan diri menyusun disertasi-nya yang membahas efektivitas senjata bambu runcing yang dilumuri kotor kuda pada pucuknya untuk pertahanan dan penyerangan. Pada masa ini lah terlihat ketertarikan Moestopo pada dunia militer yang ia gabungkan dengan ilmu kedokteran. Setahun kemudian tepatnya tahun 1943, Moestopo bertugas sebagai Cudanco Cudan Satu Daidanco di Buduran, Sidoarjo, Beliau mendapat tiga tahapan pendidikan. Pertama adalah Bogio yakni membuat pertahanan. Kedua adalah Genzizigatzu pelajaran berkebun, dan pembuatan jalan. Ketiga adalah Kyuku yakni pendidik penterjemah Bahasa Jepang ke Bahasa Indonesia. Moestopo kemudian naik pangkat menjadi Daidanco (Komandan Batalion) Gresik di tahun 1944 hingga 17 Agustus 1945 yang bertugas mempertahankan wilayah Surabaya termasuk garis pantai-nya.
Perjalanan panjang drg. Moestopo masih terus berlanjut pasca kemerdekaan Indonesia. Hasil rapat KNID mengangkat Moestopo sebagai ketua BKR Jawa Timur. Tidak lama berselang Beliau mengangkat dirinya sendiri sebagai Menteri Pertahanan ad Interim dengan tujuan mempermudah diadakannya perundingan-perundingan dengan pihak asing. Pada 17 September 1945, Beliau meminta agar semua persenjataan Jepang diserahkan kepada pihak Indonesia, namun hal ini ditolak oleh Panglima Angkatan Darat Jepang Tobu Jawa Jenderal Iwabe dan Shibata. Terjadi lah pertempuran melawan Kempetai yang berujung pada penyerahan senjata Jepang ke Indonesia.
Di Bulan Oktober 1945, Moestopo menghadapi Brigade Infanteri India milik Inggris yang dipimpin oleh A.W.S Mallaby yang memboncengi NICA (Nederland Indies Civil Administration) ke Surabaya. Moestopo dan para arek-arek Surabaya sangat geram akan hal ini, pihak sekutu juga geram karena senjata Jepang yang ingin mereka lucuti sudah didistribusikan oleh Indonesia ke seluruh markas militer di Jawa. Dua pihak ini menciptakan pertempuran pada bulan Oktober 1945, gabungan taktik gerilya dan perang kota oleh pihak Indonesia membuat pasukan sekutu kewalahan yang berujung pada tewasnya A.W.S. Mallaby dikenal sebagai Peristiwa 10 November 1945. Paska tewasnya Mallaby, Presiden Soekarno memerintahkan untuk menghentikan genjatan senjata dan Jenderal Moestopo diberhentikan sebagai Menteri Pertahanan namun diberikan tugas baru menjadi Penasihat Agung Militer Pemerintah Republik Indonesia.
Pada awal tahun 1947, Belanda datang kembali ke Indonesia. Moestopo dengan segera menuju Jogjakarta bersamaan dengan kepindahan Ibukota Negara ke Jogjakarta dan bertugas di Departemen Pertahanan serta sebagai pendidik di Akademi Militer. Beliau juga menjadi Komandan Siliwangi, Subang, Bandung Utara, dan Jawa Timur. Pada malam hari Beliau melakukan reklasering yakni merehabilitasi para pencopet, pelacur, dan maling diseputaran Kota Jogjakarta. Hal ini didasari oleh kondisi Jogja kala itu yang dipenuhi oleh pengungsi dan juga diwarnai oleh tindakan kriminal serta prostitusi.
Sri Sultan Hamengkuwobono IX meminta solusi untuk mengatasi hal ini kepada Majyen (Mayor Jenderal) Moestopo selaku Penasehat Khusus Militer. Pada akhirnya, Moestopo mengumpulkan para pekerja seks komersil (PSK) serta para pencopet dan maling menjadi bagian dari gerakan revolusi. Para PSK disebar ke daerah pendudukan Belanda dan pos-pos tentara Belanda agar terjadi kekacauan fisik, diharapkan penyakit sifilis yang diderita para PSK tersebut menyebar ke tentara Belanda. Para PSK tersebut bahkan mendapatkan pelatihan dari Kolonel T.B. Simatupang. Beliau dipindahkan ke Daerah Subang dengan membawa sekitar 100 orang (terdiri dari PSK dan maling) yang kemudian dinamainya sebagai Pasukan Terate yang membantu Divisi Siliwangi.
Paska perang revolusi, Beliau pindah ke Jakarta untuk lebih fokus di kedokteran gigi, hal ini ditandai dengan diangkatnya beliau sebagai Kepala Bagian Bedah Rahang Rumah Sakit Angkatan Darat (kini RSPAD Gatot Subroto) pada tahun 1951. Enam tahun kemudian, Beliau melanjutkan pelatihan dokter gigi di Amerika Serikat kemudian mendirikan Dr. Moestopo Dental College yang berubah menjadi Universitas Prof. dr. Moestopo Beragama di tahun 1961. Pada tahun yang sama, Beliau mendapatkan gelar Profesor Bidang Bedah Mulut oleh Universitas Indonesia dan gelar Professor Pancasila dan Biologi oleh Universitas Pajajaran. Beliau juga mendapatkan Brevet (keahlian) Bedah Rahang dari Prof. Dr. Ouw Eng Liang, Brevet Orthodonsia dari Prif. Dr. Schonboum, dan Brevet Konservasi Gigi dari Prof. Dr. M. Knap.
Salah satu penemuan Prof. drg. Moestopo yang terkenal ialah Transplantian Acrelic Resin Prof. drg. Moestopo yang bisa dijadikan pengganti tulang tubuh manusia, penemuan ini telah dibahas pada forum The Japanese Association of Oral Surgeons di Tokyo tahun 1971 dan didiskusikan pada sejumlah universitas di Jepang pada tahun 1973. Selain militer dan kedokteran, Beliau juga sempat terjun di dunia politik sebagai pembantu Menteri P&K dari tahun 1957-1958. Beliau juga sempat dicalonkan sebagai Menteri Pertahanan dalam Kabinet Wilopo namun tidak terpilih.
Pada tanggal 29 September 1986, Prof. drg. Moestopo meninggal dunia dan dimakamkan di Pemakaman Cikutra, Bandung, Jawa Barat. Pada tanggal 6 November 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikannya gelar Pahlawan Nasional Indonesia dan juga dianugerahi Bintang Mahaputera Adirprana.
Kenali sejarahmu, kenali bangsamu…. salam sejarah.