MARSEKAL MUDA PROF. dr. ABDULRACHMAN SALEH (1909-1947)

BAGIAN II

B.        Pengabdian dan Perjuangan di Bidang Militer

1. Membagi Peran Dalam Dinas Militer dan Sebagai Pengajar

Pada waktu itu Angkatan Udara (AURI) masih dalam taraf konsolidasi. Pimpinan dipegang oleh Komodor Udara S. Suryadarma dibantu oleh Komodor Sukarnen Martodisumo dan Komodor Muda Agustinus Adisutjipto, bekas murid Abdulrachman Saleh di Sekolah Tinggi Kedokteran.

Tugas yang dipikul oleh para pemimpin Angkatan Udara ini bukanlah tugas yang ringan. Tenaga ahli sangat kurang. Peralatan pun demikian pula. Pesawat-pesawat terbang yang ada jumlahnya sangat sedikit, lagi pula pesawat rongsokan peninggalan Jepang, sisa Perang Dunia II. Jumlah penerbang dapat dihitung dengan jari

Abdulrachman Saleh meninggalkan Jakarta menuju tempat tugasnya yang baru, yakni Yogyakarta. Di kota ini ia belajar mengemudikan pesawat Cureng bersayap dua. Adisutjipto, bekas mahasiswanya, kini menjadi instrukturnya. Dengan tekun dipelajarinya setiap jenis pesawat seperti glider hayabusa, cukiu, guntai dan lain-lain. Pengenalan itu memungkinkan Abdulrachman Saleh memperbaiki pesawat-pesawat yang rusak agar dapat digunakan oleh AURI. Sesudah itu ia bertindak sebagai lnstruktur penerbang membantu Adisutjipto.

Pimpinan AURI melihat kemampuan yang besar dalam diri dokter ini. Dalam tahun 1946 ia dipercayakan menjadi Komandan Pangkalan Udara Maospati (Madiun). Di kota ini lahir putra kedua yang diberi nama Triawan sebagai kenang-kenangan atas masuknya Abdulrachman menjadi anggota Angkatan Udara. Tri kependekan diri Tentara Republik Indonesia dan awan melambangkan tugas seorang penerbang.

Dari Madiun ia dipindahkan ke Malang. Dengan menggunakan pesawat cureng ia dan keluarga berangkat ketempat yang baru itu. Si kecil Triawan ditempatkan dalam Koper kecil. Tujuannya tidak lain ialah untuk menghemat tempat dalam pesawat, sesuai dengan sifatnya yang sederhana dan praktis.

Dikota ini pengabdiannya semakin meningkat. Menyadari bahwa tenaga teknisi udara sangat diperlukan, maka Abdulrachman Saleh mendirikan Sekolah Teknik Udara. Sekolah ini tercatat sebagai sekolah teknik udara yang pertama yang pernah didirikan. Sebelum itu di Madiun telah didirikannya pula Sekolah Radio Udara.

Sementara ltu Abdulrachman Saleh tidak dapat melepaskan sama sekali profesinya sebagai dokter, khususnya sebagai dosen. Karena situasi Jakarta semakin panas, maka Sekolah Tinggi Kedokteran dipindahkan ke Klaten. Tenaga Abdulrachman Saleh diperlukan sebagai guru besar. Walaupun cukup sibuk dengan tugas-tugas di Angkatan Udara, namun ia tidak mau menolak tugas yang dibebankan kepadanya untuk memberi kuliah.

Jarak yang cukup jauh antara Malang dengan Klaten tidak menjadi rintangan bagi ahll ilmu faal ini untuk melakukan tugasnya. Bila waktu-waktu memberi kuliah datang, ia berangkat dari Malang menggunakan pesawat Hayabusa yang dikemudikannya sendiri, melalui Pangkalan Udara Maospati dan dari situ ke Pangkalan Udara Panasan, Solo. Dari Panasan ke Klaten ia mengendarai mobil atau sepeda motor, atau bila kedua jenis kendaraan tidak ada, ia tidak segan-segan mengendarai sepeda.

Dari masa ini dapat dikemukakan beberapa anekdot, yang menunjukkan sifatnya yang praktis dan ringan tangan. Kepada petugas lapangan di Maospati diperintahkannya untuk memasang sebuah tanda, bila ada sesuatu tugas yang harus dilakukannya di Madiun. Jika ia melihat tanda tersebut dalam penerbangannya dari Malang menuju Panasan, maka Abdulrachman Saleh akan mendarat terlebih dahulu di Maospati. Sebaliknya jika ia ingin mendarat dan menugaskan sesuatu, maka tugas itu dituliskan dalam secarik kertas dan dilemparkan dari pesawat.

Suatu kali Abdulrachman Saleh mendarat di Maguwo. Perjalanan ke Klaten dilanjutkan dengan menggunakan kereta api. Di tengah perjalanan, kereta api mogok. Tanpa pikir panjang ia turun dari kereta, membetulkan mesin yang rusak sehingga kereta api dapat berjalan kembali.

Sementara itu hubungan antara RI dengan Belanda tetap buruk. Perundingan Linggarjati yang semula diharapkan akan dapat memperbaiki hubungan kedua beiah pihak, ternyata menimbulkan keadaan yang sebaliknya. Republik yang masih muda itu mengharapkan bantuan dari luar negeri. Khusus untuk AURI diperlukan pembelian atau penyewaan pesawat terbang dan instruktur-instruktur. Tetapi bahan-bahan lain pun diperlukan, seperti senjata, obat-obatan dan sebagainya. Usaha itu sulit dllaksanakan karena adanya blokade udara yang dilakukan Belanda. Namun beberapa penerbang AURI berhasil menerobos blokade tersebut.

2.         Gugur Dalam Peristiwa Penembakan Pesawat Dakota VT-CLA

Menjelang Juli 1947 Abdulrachman Saleh dan Adisutjipto mendapat tugas dari Pemerintah untuk pergi ke India. Tujuannya ialah mencari instruktur dan obat-obatan. Seorang industrialis India, Patnaik, bersedia meminjamkan sebuah pesawat Dakota untuk mengangkat obat-obatan hadiah dari Palang Merah Internasional untuk Palang Merah Indonesia.

Ketika Abdulrachman Saleh masih di luar negeri, konflik antara RI dan Belanda telah mencapai titik kulminasi. Tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan serangan militer terhadap RI yang dikenal dengan nama Agresi Militer I Belanda. Beberapa kota penting jatuh ke tangan Belanda, berkat persenjataan mereka yang jauh lebih baik dan lebih lengkap dari pada senjata yang dimiliki RI. Namun RI tidak menyerah begitu saja. Untuk membuktikan kemampuan AURI, pagi hari 29 Juli 1947 beberapa buah pesawat AURI melakukan pemboman terhadap lnstalasi militer Belanda di Semarang, Ambarawa dan Salatiga. Belanda yang tidak pernah memperhitungkan kemungkinan serangan, menjadi terkejut. Beberapa buah pesawat pemburu diperintahkan terbang untuk mencari kemudian menghancurkan pesawat-pesawat AURI.

Sehari sebelumnya, yakni 28 Juli 1947, radio Malaya menyiarkan berita, bahwa sebuah pesawat Dakota dengan kode VT-CLA akan bertolak ke Indonesia. Pesawat tersebut memuat obat-obatan sumbangan Palang Merah Internasional untuk Palang Merah Indonesia, dan menurut rencana akan mendarat di Yogyakarta pada 29 Juli 1947. Selanjutnya radio tersebut memberitakan, bahwa Pemerintah Belanda sudah mengijinkan datangnya pesawat tersebut. Tetapi peristiwa pagi hari 29 Juli 1947 telah dijadikan alasan untuk tidak menepati persetujuan yang telah diberikan itu.

Menjelang sore hari 29 Juli 1947 pesawat Dakota VT-CLA sudah berada di udara Yogyakarta dan siap untuk mendarat di lapangan terbang Maguwo (sekarang Adisutjipto). Kepala Staf Angkatan Udara, Suryadarma, dengan mengendarai sebuah jeep, sudah tiba di lapangan terbang untuk menyambut kedatangan pesawat tersebut. Tetapi pada saat-saat pesawat akan melakukan pendaratan, dari arah utara muncul dua buah pesawat pemburu Belanda. Sekonyong-konyong pesawat Dakota itu ditembak oleh kedua pesawat Belanda itu sehingga tidak dapat melakukan pendaratan. Pilotnya berusaha mencari tempat pendaratan darurat di sebelah selatan Yogyakarta. Mungkin karena kurang mengenali daerah sekitar Yogyakarta, ia gagal menemukan tempat yang baik. Pesawat membentur pohon kayu, patah dua dan terbakar. Hanya sebagian ekornya saja yang masih utuh.

Semua awak pesawat dan penumpangnya tewas, kecuali satu orang yang kebetulan duduk di bagian belakang pesawat. Tiga orang di antara yang tewas itu adalah tokoh pimpinan AURI yaitu dr. Abdulrachman Saleh, Agustinus Adisutjipto dan Hadisumarmo Wirjokusumo.

Di kalangan AURI ada anggapan, bahwa bila pesawat itu dikemudikan oleh Abdulrachman Saleh atau Adisutjipto, malapetaka itu akan dapat dihindarkan. Mereka mengenal betul daerah sekitar Yogyakarta, sehingga dapat mencari tempat yang baik untuk melakukan pendaratan. Namun apa yang telah terjadi itu merupakan suatu kehilangan besar bukan saja bagi AURI tetapi juga bagi seluruh bangsa Indonesia.

Kota Yogyakarta diliputi suasana berkabung. Pembesar-pembesar militer dan sipil yang memberikan penghormatan terakhir kepada pahlawan-pahlawan AURI itu, tampak murung. Jenazah Abdulrachman Saleh dimakamkan di pekuburan Kuncen, Yogyakarta.

C.        Berbagai Penghargaan yang Diberikan

Sebagai penghargaan atas jasa-jasa yang telah disumbangkan untuk pembinaan AURI, Prof, dr. Abdulrachman Saleh dinaikkan pangkatnya menjadi Laksamana Muda Udara Anumerta. Tanggal 17 Agustus 1952 Pangkalan Udara Bugis Malang, diganti namanya menjadi Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh. Hari gugurnya di peringati AURI sebagai Hari Berkabung dan sejak 1962 disebut Hari Bhakti AURI. Seperti sudah disebut di atas, dunia ilmu pengetahuan menghargainya sebagai Bapak limu Faal Indonesia.

Pemerintah memberikan penghargaan berupa Bintang Garuda (16 April 1959) dan Bintang Mahaputra (15 Februari 1961). Kedua bintang itu diterima oleh janda almarhum. Penghargaan tertinggi dlberikan Pemerintah dengan mengangkat Abdulrachman Saleh sebagai Pahlawan Nasional pada 9 November 1974, dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 071/TK/Tahun 1974.

Pusjarah TNI

Jl. Gatot Subroto Kav. 16

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *