Perintah Siasat No. 1 Tahun 1948

Pasca dilanggarnya persetujuan Linggarjati yang berakibat adanya Agresi Militer Belanda I, Pimpinan TNI telah memperkirakan bahwa Belanda akan mengulangi agresi militernya. Indikasi ini terlihat saat buntunya perundingan politik dan aktivitas kegiatan-kegiatan militer Belanda yang semakin meningkat. Untuk menghadapi kemungkinan tersebut, TNI melakukan berbagai persiapan. Persiapan diperlukan, khususnya mengingat kondisi persenjataan yang dimiliki TNI tidak sebanding dengan peralatan militer Belanda. Kekurangan senjata ini tidak memungkinkan TNI untuk melakukan perang frontal, seperti saat menghadapi Belanda pada Agresi Militer Belanda I, yang berakibat pertahanan TNI di beberapa posisi strategis dapat diterobos dengan mudah oleh Belanda. Oleh karena itu, perlu dibangun kembali moral dan konsolidasi kekuatan TNI. Keduanya diperlukan untuk dapat merebut kembali wilayah RI yang diduduki oleh tentara Belanda. Strategi pertahanan yang dipakai pada saat Agresi Militer Belanda II diputuskan berbasis kewilayahan dengan melibatkan peran serta rakyat.

Semua kekalahan dan kesalahan pada saat Agresi Militer Belanda I, dikaji secara mendalam. Belajar dari kekurangan tersebut, maka pimpinan tertinggi TNI kemudian mengeluarkan keputusan. Keputusan berupa Pokok-pokok perlawanan dan pertahanan yang diatur dalam Perintah Siasat No. 1 Tahun 1948 yang diumumkan oleh Panglima Besar Angkatan Perang pada tanggal 9 November 1948.

Perintah Siasat No. 1 tahun 1948, antara lain berisi pokok-pokok pertahanan RI terhadap serangan Belanda, yaitu:

1          Tidak akan melaksanakan pertahanan linier seperti pada Agresi Militer Belanda I.

2          Berusaha memperlambat setiap majunya gerakan musuh, pengungsian total (semua pengawal dan rakyat dari daerah-daerah yang akan diduduki musuh) dan bumi hangus total.

3          Membuat kantong-kantong di tiap-tiap onder distrik militer.

4          Menugaskan pasukan-pasukan yang hijrah untuk melakukan wingate (menyusup kembali ke daerah asalnya) dan membentuk kantong-kantong.

Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Pimpinan yang totaliter dalam tangan lurah. Komando Onderdistrik Militer (KODM), Komando Daerah Militer (KDM), Gubernur Militer danPanglima Pulau (Jawa dan Sumatera), dalam keadaan ini Dewan Pertahanan Nasional dan Dewan Pertahanan Daerah ditiadakan.

b. Politik nonkooperasi dan nonkontak yang tegas.

c. Reorganisasi TNI untuk tiga macam tugas:

  • Batalyon-batalyon mobil, lebih kurang satu batalyon di tiap karesidenan, untuk tugas-tugas menyerang, bersenjata 1:1.
  •  Batalyon-batalyon teritorial, lebih kurang satu batalyon di tiap kabupaten untuk perlawanan statis, bersenjata 1:3-5.
  •  Kader-kader teritorial, mulai Kader Desa, KODM, KDM, dan seterusnya.

d. Menyusupkan pasukan-pasukan TNI ke daerah-daerah federal, baik di Jawa maupun luar Jawa. Pasukan-pasukan yang berasal dari daerah Jawa Barat, Besuki, Sumatera, Kalimantan dan sebagainya disusun untuk tugas-tugas tersebut.

Untuk memperjelas isi perintah itu, dalam Lampiran Perintah Siasat dijelaskan pengalaman Divisi Siliwangi pada waktu agresi pertama di Jawa Barat. Berdasarkan pengalaman tersebut disimpulkan bahwa:

  1. Penyerbuan Belanda tidak mungkin ditahan, paling banyak hanya dapat dihambat dengan gangguan serta bumihangus, sehingga diperoleh waktu dan ruang sebanyak mungkin untuk pengungsian pasukan-pasukan, peralatan, pegawai-pegawai, dan rakyat umumnya ke kantong-kantong di pedalaman.
  2. Pokok perlawanan ialah perang gerilya. Pada satu pihak bersifat agresif terhadap musuh, dan di pihak lain konstruktif dapat menegakkan kekuasaan de facto RI dalam arti militer maupun sipil, dengan membuat sebanyak mungkin kantong-kantong.

Inti dari isi Perintah Siasat No. 1 adalah pelaksanaan perang rakyat Semesta. Prinsip-prinsip pokok perang rakyat semesta adalah mengikutsertakan rakyat secara aktif dan mengerahkan semua tenaga dan harta kekayaan rakyat untuk mencapai kemenangan. Penghancuran musuh tidak hanya berarti menghancurkan angkatan perangnya, melainkan membinasakan semua organisasi dan lembaga politik, serta sosial ekonominya. Sesuai dengan tujuan tersebut, seorang pimpinan perjuangan haruslah memiliki pengetahuan yang luas di berbagai bidang. Begitu pula diusahakan mengurangi kawan pihak musuh, dan sebaliknya memperbanyak lawan pihak musuh.

Perang pada akhirnya bergolak sekaligus di semua sektor, militer, politik, psikologis, dan sosial-ekonomi. Sebab, Angkatan bersenjata tidak dapat menyelamatkan kemenangan perang jika front politik, ekonomi, sosial dan psikologis tidak cukup kuat untuk menunjang dan mengimbangi peperangan tersebut. Apalagi dari segi kekuatan senjata dan jumlah personel yang kurang jika dibandingkan dengan jumlah personel dan kekuatan senjata lawan.

Dalam pelaksanaan strategi saat menghadapi Agresi Militer Belanda II, para pemikir TNI, akhirnya menemukan strategi perongrongan atau attrition strategy. Strategi ini untuk perang jangka panjang dijabarkan dalam organisasi dan sistem Wehrkreise. Wehrkreise artinya lingkungan pertahanan, atau pertahanan daerah. Sistem ini intinya membagi-bagi daerah pertempuran dalam lingkaran-lingkaran yang dapat berdiri sendiri. Sistem wehrkreise itu dipakai sejak dari pertahanan pulau sampai daerah-daerah. Masing-masing komandan diberi kebebasan seluas-luasnya untuk menggelar dan mengembangkan perlawanan. Wilayah wehrkreise adalah satu karesidenan, yang didalamnya terhimpun kekuatan militer, politik, ekonomi, pendidikan dan pemerintahan. Sehingga di dalam daerah wehrkreise semua tenaga manusia, material dan bahan-bahan yang ada diintegrasikan. Pada segi militer, konsepsi strategi ini dilengkapi dengan taktik gerilya. Selain itu, pasukan-pasukan yang berhijrah harus melakukan wingate yaitu menyusup daerah musuh untuk kembali ke daerah asalnya. Sistem wehrkreise sama sekali meninggalkan sistem pertahanan linier. Sistem Wehrkreise ini kemudian disahkan penggunaannya dalam Surat Perintah Siasat No.1.

Strategi perongrongan yang dilancarkan TNI bersama rakyat berhasil menjemukan kemauan perang pasukan musuh. Perang gerilya yang dilancarkan tentara bersama dengan rakyat itu akhirnya berhasil mematahkan ofensif (serbuan) Belanda. Inisiatif mulai beralih ke tangan TNI. Serangan Umum ke Yogyakarta tanggal 1 Maret 1949 merupakan titik balik bagi kemenangan TNI. Karena terdesak, Belanda mengajak berunding. Tanggal 7 Mei 1949 Roem-Royen Statement ditandatangani. Dengan dasar perjanjian itu, akhir Juni 1949 Presiden, Wakil Presiden dan pejabat-pejabat pemerintah lainnya yang ditawan Belanda di Pulau Bangka, dikembalikan ke Yogyakarta. Keberhasilan serangan umum tersebut membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI dan RI masih ada, serta cukup mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan, dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di DK PBB. Pada akhirnya, 27 Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia

Pusjarah TNI

Jl. Gatot Subroto Kav. 16

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *