Resensi Buku : Orang Cina, Bandar Tol, Candu, & Perang Jawa Perubahan Persepsi tentang Cina 1755-1825
Oleh: Flora Nainggolan
- Identitas Buku.
a. Judul Buku : Orang Cina, Bandar Tol, Candu, & Perang Jawa. Perubahan Persepsi Tentang Cina 1755-1825.
b. Pengarang : Peter Carey.
c. Penerbit : Komunitas Bambu.
d. Kota Penerbitan : Depok.
e. Tahun Penerbitan : 2015.
f. Ketebalan : xxxiv+138 halaman.
g. Nomor ISBN : 978-602-9402-67-4.
2. Pendahuluan.
Dalam buku ini, Carey menulis sisi kelam apa yang terjadi di masyarakat Jawa sebelum perang terjadi. Termasuk konflik sosial dengan berbagai fenomenanya yang terjadi. Sejarah komunitas etnis Cina di Pulau Jawa memang belum banyak diteliti. Namun, Carey telah mencoba merekonstruksi kehidupan komunitas etnis Tionghoa di Jawa sebelum Perang Jawa (1825).
3. Isi Resensi.
Dalam buku tersebut, Carey berkisah bahwa seorang Tionghoa penjaga gerbang tol menulis pada November 1824 dan melaporkan tentang kebangkrutannya hanya dalam waktu dua bulan setelah mengambil alih pengelolaan bandar yang selalu menguntungkan di daerah Bantul dan Jatinom, selatan Yogyakarta. Musim kering yang berkepanjangan sejak awal tahun tampaknya telah menghancurkan tanaman kapas dan bahan-bahan pangan pokok, seperti jarak, kacang kedelai, dan jagung, sehingga persediannya sangat sedikit. Harga beras melambung tinggi, dan kegiatan perdagangan di pasar-pasar setempat hanya sedikit, karena perdagangan secara efektif telah ambruk sama sekali.
Pada bulan-bulan yang mengerikan sebelum meledaknya Perang Jawa, pedesaan di Jawa merupakan tempat di mana orang hidup saling curiga dan saling meneror. Gerombolan bersenjata beroperasi dengan sangat bebas dari tuntutan hukum. Pembunuhan banyak terjadi dan kegiatan harian para petani setempat berlangsung dibawah pengawasan ketat mata-mata para penjaga gerbang tol yang ditempatkan di setiap desa dan setiap jalan desa untuk mencegah terjadinya penghindaran kewajiban membayar pajak. Bahkan orang mati sekalipun, ketika diantarkan ke kuburan, akan terbebani pajak pula. Terlebih hanya melintasi sebuah gerbang tol saja, kendati tidak membawa suatu barang yang dikenai pajak, akan menyebabkan seorang pelancong dikenakan apa yang secara kasar dinamakan oleh orang Jawa sebagai “pajak bokong”. Para pegawai Jawa yang berkedudukan tinggipun tidak luput dari perlakuan ini.
Selama berlangsungnya Perang Jawa, Pemerintah Belanda pada akhirnya bertindak secara cepat memodifikasi kerja sistem gerbang tol di daerah kerajaan, dan membatasi masuknya penduduk Tionghoa ke daerah pedesaan. Akan tetapi, pada saat itu tindakan modifikasi tersebut sudah sangat terlambat; perang telah meluluhlantakkan daerah pedesaan dan orang Tionghoa. Mereka pada masa itu dimaklumi diranah istana sebagai penasihat keuangan yang tidak ternilai, rekan dagang, dan ahli perpajakan, tetapi sekarang telah menjadi sasaran-sasaran khusus kebencian dan kejijikan rakyat.
4. Keunggulan Buku.
Dalam buku ini mengandung cerita sejarah yang menarik, bahasa yang digunakan mudah dipahami, dan memiliki banyak pesan-pesan yang memotivasi.
5. Kekurangan Buku.
Kekurangan dalam buku ini yaitu cover pada buku kurang menarik dan kualitas cetakan kurang baik.
6. Penutup.
Intisari dari buku ini dapat membuka prespektif baru tentang tragedi yang dipicu politik Pemerintahan Inggris dan Hindia Belanda. Politik tersebut menggunakan orang Tionghoa sebagai ujung tombak dari suatu sistem perpajakan yang mengakibatkan penderitaan mendalam dan membangkitkan amarah rakyat dengan dibebani perdagangan candu serta pengelolaan gerbang tol.