Resensi Buku: Gajah Mada, Biografi Politik
- Identitas Buku.
Judul Buku : Gajah Mada: Biografi Politik
Pengarang : Agus Aris Munandar
Penerbit : Komunitas Bambu
Tahun terbit : 2010
Tebal halaman : xiii,160 hlm
ISBN : 979-3731-72-9
2. Pendahuluan.
Penulis membuat buku ini untuk menjawab misteri kehidupan Gajah Mada yang masih gelap. Penulis juga ingin mengungkap peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa ketenaran Gajah Mada sebagai Maha Patih Kerajaan Majapahit. Penulis membuat karya ini berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah melalui pembacaan prasasti dan naskah sastra kuno.
3. Isi Resensi.
Nama Gajah Mada ditafsirkan dalam dua sifat yaitu sebagai pelaksana perintah-perintah raja dan beringas apabila menghadapi berbagai rintangan yang akan menghambat kemajuan kerajaan. Ada dua pendapat berkaitan tentang asal usul Gajah Mada, pendapat pertama bahwa Gajah Mada lahir dari buah kelapa yang memancar sebagai jelmaan dari Dewa Wisnu, dan pendapat kedua bahwa Gajah Mada anak dari Gajah Pagon.
Gajah Mada menuntut ilmu di Karsyan Pawitra Kerajaan Majapahit yang direstui oleh ayahnya Gajah Pagon selama 12 tahun. Kerajaaan Majapahit pada saat itu rajanya Jayanegara, putra dari Raden Wijaya. Kedatangan Gajah Mada di Kerajaan Majapahit langsung diterima menjadi pengawal raja dalam Kesatuan Bhayangkara. Gajah Mada yang telah dibekali ilmu kewiraan merasa cocok bertugas di kesatuan khusus pengawal raja.
Gajah Mada mulai terkenal pertama kali pada saat terjadi peristiwa pemberontakan Ra Kuti. Bersama 15 orang Pasukan Bhayangkara berhasil mengungsikan Raja Jayanegara ke daerah Bedander. Keberhasilan Gajah Mada dalam melaksanakan pengamanan Raja Jayanegara menjadi tonggak awal kejayaan Gajah Mada sebagai Mahapatih Kerajaan Majapahit. Namun keberhasilan Gajah Mada mengamankan dan menyelamatkan Raja Jayanegara menjadi sia-sia. Pada akhirnya Gajah Mada menghabisi Raja Jayanegara melalui Tabib Ra Tanca. Gajah Mada menganggap Raja Jayanegara sudah tidak pantas lagi memimpin kerajaaan, karena sering melakukan tindakan asusila, yaitu suka mengganggu dan berhubungan dengan wanita-wanita yang sudah bersuami.
Gajah Mada mulai merealisasikan Sumpah Palapanya pada masa pemerintahan Tribuwana Tunggadewi. Gajah Mada mulai melakukan penyerangan ke Bali dari empat penjuru. Upaya penyerangan ini mendapat perlawanan yang cukup gigih dari Ki Parang Grigis Bali yang memiliki kesaktian yang cukup tinggi. Ki Parang Grigis selalu berhasil meloloskan diri dan memberikan perlawanan yang sengit terhadap pasukan Majapahit. Gajah Mada mulai melancarkan taktik untuk mengalahkan Ki Parang Trigis dengan memasang strategi berpura-pura menyerah dengan mengangkat bendera putih dan meletakkan senjata. Penyerahan Gajah Mada disambut dengan sangat gembira oleh Ki Parang Trigis. Mulailah Gajah Mada melancarkan aksinya dengan meminta Ki Parang Trigis untuk memanggil anjing hitamnya yang konon bisa mengerti kata-kata manusia. Permohonan itu segera dilaksanakan Ki Parang Trigis dengan memanggil anjingnya dan menjanjikan akan memberi makan kepadanya. Namun ketika anjing itu datang, Trigis bukan memberi makanan, tetapi hanya memberi batok kelapa. Melihat kejadian ini Gajah Mada langsung menghardik dan memarahi Ki Parang Trigis. Saatnya Gajah Mada mempermalukan Ki Parang Trigris di depan seluruh pasukan dengan berkata “Ki Parang Trigis sudah melakukan perbuatan yang pantang dilakukan para kesatria. Seorang kesatrai pantang melanggar janji termasuk kepada binatang sekalipun. Perbuatan melanggar janji adalah perbuatan yang hina”. Mendengar kata-kata Gajah Mada tersebut, Ki Parang Trigis hanya terdiam, menyadari kekeliruan dan mengakui kekalahannya.
Ambisi Gajah Mada untuk menguasai seluruh Nusantara masih belum tercapai, Kerajaan Sunda belum berhasil dikuasainya. Untuk menguasai Kerajaan Sunda, Gajah Mada tidak melakukan penyerangan secara frontal, karena Kerajaan Sunda lebih lama berdiri dan masih berada dalam satu wilayah Jawadipa. Gajah Mada akhirnya melakukan strategi politiknya dengan memanfaatkan hubungan cinta antara Raja Hayam Wuruk dengan Putri Kerajaan Sunda, Dyah Pitaloka. Gajah Mada memerintahkan Kerajaan Sunda untuk mempersembahkan putri Kerajaan Sunda sebagai persembahan kepada Kerajaan Majapahit. Permintaan Gajah Mada ditolak oleh Kerajaan Sunda dengan cara angkat senjata melawannya. Terjadilah pertempuran di lapangan Bubat, yang menewaskan Raja Sunda dan putrinya. Raja Hayam Wuruk sangat hatinya terpukul, sedih dan merana dengan peristiwa tersebut, tidak lama kemudian Raja Hayam Wuruk meninggal dunia.
Dalam Peristiwa Bubat ini menjadi titik balik kesuksesan Gajah Mada. Gajah Mada dianggap bersalah dan dibenci oleh Kerajaan Majapahit. Pengabdiannya selama ini kepada Kerajaan Majapahit menjadi sirna seolah-olah tidak ada artinya. Padahal dalam peristiwa tersebut, belum tentu kesalahan Gajah Mada. Perisiwa tersebut terjadi dilatarbelakangi oleh keinginan kedua orang tua Hayam Wuruk yang tidak ingin putranya menikah dengan putri Raja Sunda, menginginkan menjodohkan dengan wanita lain.
4. Keunggulan Buku.
Buku ini cocok dibaca oleh semua kalangan yang ingin mengetahui tentang sejarah. Buku ini tidak terlalu tebal dan bahasanya mudah dipahami. Selain itu, ada nilai-nailai moral yang disampaikan dalam buku ini bahwa “Seorang Kesatria harus bertindak dan berkata yang benar dan tidak melakukan perbuatan yang tercela”.
5. Kekurangan Buku.
Penulis membuat cerita dalam dua versi dalam menuliskan riwayat hidup Gajah Mada. Sinopsisnya yang dibuat dalam buku ini untuk menjawab semua pertanyaan menjadi sebuah pertanyaan dari pembaca. Sehingga pembaca juga harus berfikir dan menganalisa pernyataan manakah yang harus kita gunakan. Buku ini masih menjadi bahan pertanyaan bagi pembacanya.