LETNAN JENDERAL R. SUPRAPTO (1920 – 1965)

MASA KECIL HINGGA DEWASA

Ketika RA. Alimah, tanggal 20 Juni 1920, melahirkan seorang bayi laki-Iaki, maka suami-isteri R. Pusposupeno dan R.A. Alimah sudah mempu­nyai sepuluh orang anak; enam orang laki-Iaki dan empat orang perempuan. Anak yang kesepuluh ini ternyata anak bungsu. Sebagaimana lazimnya anak bungsu, maka Suprapto, demikian nama anak itu, memperoleh limpahan kasih sayang dari kedua orang tua dan kakak-kakaknya.

 

Memasuki pendidikan Umum

Prapto, demikian panggilannya sehari-hari, lahir dan dibesarkan di Pur­wokerto, daerah Banyumas, Jawa Tengah, yang penuh diliputi suasana reli­gius. Suasana itu jelas mempengaruhi watak Suprapto. Pengaruh itu semakin diperbesar oleh contoh yang setiap hari diperlihatkan orang tuanya dalam menjalankan ibadat Islam. Hal itu akan terlihat kelak dalam tingkah lakunya sehari-hari sesudah ia dewasa. Ketika ia sudah menjadi ayah, nasehat-nasehat yang diberikan kepada isteri dan anak-anaknya senantiasa didasarkan kepada ajaran agama. Ia mendidik dan membina keluarganya supaya selalu bersikap sabar tawakal dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. “Kita semua harus percaya kepada Tuhan, sebab Tuhan itu adil.”

Ajaran-ajaran agama itu membentuk Suprapto menjadi seorang yang berwatak lembut. Kelembutan itu diperkuat oleh bakat seni yang dimilikinya. Ketika belajar di AMS ia sudah gemar mengarang. Dalarn sayembara menga­rang yang diadakan oleh sekolah tersebut, karangan Suprapto, yang berjudul Mijn ldeaal (Cita-citaku) memperoleh nilai terbaik. Karangan itu kemudian dimuat dalam majalah Vox, sebuah majalah yang diterbitkan oleh AMS Yog­yakarta. Yang menarik bukan karena karangan itu berhasil memenangkan sayembara, tetapi terutama karena isinya menggugah semangat para pemuda agar berjuang memperbaiki nasib bangsanya.

Daerah Banyumas terkenal sebagai daerah yang banyak melahirkan tokoh-tokoh militer. Jenderal Soedirman dan Jenderal Gatot Subroto, sebagai contoh, adalah dua orang putra Banyumas yang cukup dikenal di kalangan militer. Yang pertama dikenal sebagai Panglima Besar Angkatan Perang dalam masa Perang Kemerdekaan dan dianggap sebagai Bapak TNI. Yang kedua pernah menduduki jabatan Wakil KSAD. Dalam diri Suprapto darah militer itu ternyata mengalir pula.

Sejak kecil ia sudah senang bermain perang-perangan. Anak bungsu itu pernah menimbulkan rasa kagum di hati kakak-kakaknya ketika pada suatu kali ia membuat benteng di dalam tanah. Benteng itu digunakan untuk bermain perang-perangan. Ketika itu ia masih duduk di bangku sekolah MULO (Meer Uitgerbreid Lager Onderwijs), setingkat Sekolah Menengah Per­tama pada masa ini. Ia senang pula membuat gambar alat-alat perang seperti kapal terbang, meriam, senapan dan sebagainya. Darah militer itu pulalah yang menyebabkan ia tertarik memasuki dunia pramuka, kemudian pendi­dikan militer zaman Belanda dan latihan kemiliteran dalam zaman Jepang.

Pendidikan pertama yang ditempuhnya adalah Hollandsch lnlandsche School (HIS = Sekolah Dasar) di Purwokerto. Pada masa itu usianya sudah 7 tahun. Mata pelajaran yang sangat disenangi adalah berhitung atau sekarang populer disebut matematika. Sesudah itu ia melanjutkan sekolahnya ke MULO bagian B. Pendidikan umum terakhir di jaman penjajahan yang ditem­puhnya adalah pada Algemeene Middelbare School (AMS) bagian B di Yogya­karta, setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) pada masa ini.


Memasuki Dunia Militer

Pendidikan di AMS diselesaikan pada tahun 1941, ketika situasi tanah air diliputi ancaman perang sebagai akibat berkobarnya Perang Dunia II. Untuk menghadapi kemungkinan menjalarnya perang itu ke Indonesia, Peme­rintah Hindia Belanda memanggil pemuda-pemuda Indonesia untuk ikut dalam pasukan milisi. Pada mulanya maksud untuk membentuk pasukan milisi itu kurang begitu disetujui oleh kalangan Pergerakan Nasional, terutama mengenai apa yang sesungguhnya harus dibela oleh para pemuda Indonesia, bangsanya ataukah pemerintah kolonial. Akan tetapi ancaman facisme Jepang juga akan membahayakan kehidupan bangsa, maka banyak pemuda-pemuda Indonesia memasuki pendidikan militer Belanda. Pemuda Suprapto memasuki pendidikan militer pada Koninklijk Militaire Akademie (KMA) di Bandung. Pendidikan itu tidak sempat diselesaikan, karena dalam bulan Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda telah menyerah tanpa syarat kepada balatentara Jepang. Anggota pasukan Belanda menjadi tawanan Jepang. Suprapto sebagai taruna akademi militer, termasuk salah seorang di antaranya. Tetapi kemu­dian ia berhasil melarikan diri dari rumah tahanan. Sesudah itu ia kembali ke Purwokerto.

Dalam zaman penjajahan Jepang, Suprapto yang pernah mendorong agar para pemuda berlomba-Iomba memperbaiki nasib bangsanya, tertarik terhadap masalah-masalah sosial, terutama yang berhubungan dengan soal-soal pemuda. Karena itulah ia mengikuti kursus Cuo Seinen Kunrensyo (pusat Latihan Pemuda). Setelah itu ia bekerja di kantor Pendidikan Masyarakat Desa Banyumas di Purwokerto. Cita-cita yang pernah dituangkan dalam arti­kel Mijn ldeaal sedapat mungkin diterapkan dalam tugasnya sehari-hari. Dalam kegiatan di bidang sosial (Kemasyarakatan) itu Suprapto berkenalan dengan pemuda Soedirman seorang pemimpin muda yang kelak akan menjadi Pang­lima Besar Angkatan Perang RI. Keduanya sepaham dalam cara bagaimana memajukan pemuda, dan keduanya aktif menyumbangkan tenaga di bidang yang sama. Sejalan dengan itu, Suprapto juga mengikuti latihan-latihan pemuda seperti Keibodan, Seinendan dan Suisyintai. Pengalaman selama men­jalani latihan pemuda yang oleh Jepang dilaksanakan sesuai dengan latihan militer, banyak manfaatnya bagi pemuda Suprapto dan teman-teman seang­katannya. Dalam latihan itu ia ditempa dengan disiplin yang keras.

 

PERJUANGAN DIBIDANG MILITER

 Menjabat Sebagai Ajudan Pangsar Sudirman

Pada waktu kemerdekaan diproklamasikan, Suprapto sedang berada di Cilacap. Terbawa oleh arus revolusi pada masa itu dan terdorong oleh se­mangat militemya, ia turut aktif dalam usaha merebut senjata dari tentara Jepang. Sejak saat itulah sesungguhnya Suprapto memulai karier militernya. Karena kemampuannya dinilai cukup baik dan berkat pendidikan serta peng­alamannya, maka setelah terbentuknya Divisi V TKR Purwokerto, ia diserahi jabatan sebagai Kepala Bagian II Divisi V. Untuk itu ia diberi pangkat kapten.

Divisi V dipimpin oleh Kolonel Soedirman, tokoh yang sudah dikenal Suprapto sejak zaman Jepang. Dalam pertempuran Ambarawa, Suprapto turut mendampingi Komandan Divisi V itu. Pertempuran bersejarah itu ber­langsung dari tanggal 12 – 15 Desember 1945 dan dipimpin langsung oleh Kolonel Soedirman. Peristiwa itu dimulai dengan pertempuran di Magelang, berlangsung dengan direbutnya benteng Banyubiru dan berakhir dengan jatuhnya benteng Willem I di Ambarawa ke tangan TKR. TKR berhasil meng­ungguli pasukan Serikat yang mempunyai senjata yang lebih lengkap. Pasukan Serikat dipukul mundur sehingga mereka melarikan diri ke Semarang.

Setelah Pertempuran Ambarawa berakhir, Kolonel Soedirman dilantik oleh Pemerintah sebagai Panglima Besar TKR. Berkat hubungan baik yang sudah terjalin sejak lama, tidaklah mengherankan kalau Jenderal Soedirman memilih Kapten Suprapto sebagai ajudannya. Tugas sebagai ajudan seorang Panglima Besar pada masa itu bukanlah tugas yang ringan. Suprapto terlibat dalam kesibukan sesuai dengan kesibukan komandannya sendiri. Hal itu mudah dimengerti, karena pada waktu itu keadaan TKR masih jauh dari sempurna. Banyak yang harus dilakukan. Organisasi harus disempurnakan. Ancaman musuh harus dihadapi. Semuanya itu menyita waktu Panglima Besar dan juga waktu Kapten Suprapto yang setiap saat harus siap meladeni komandannya.

Hampir dua tahun lamanya Suprapto mengabdikan dirinya sebagai ajudan Jenderal Soedirman. Dalam masa itulah ia mengakhiri masa membujangnya. Tanggal 4 Mei 1946 Kapten Suprapto menikah dengan gadis pilihan­nya, Julie Suparti. Gadis kelahiran Cilacap ini tetap mendampinginya sebagai isteri setia sampai akhir hayatnya. Dari perkawinan itu mereka dikaruniai Tuhan dengan lima orang anak, dua orang perempuan dan tiga orang laki-laki.

Berpindah-pindah dari jabatan yang satu ke jabatan yang lain atau dari satu tempat ke tempat lain, merupakan hal biasa dalam kehidupan seorang militer. Begitu pula halnya dengan Suprapto. Dalam tahun 1948, setelah Markas Komando Jawa (dalam ejaan lama dipendekkan dengan MBKD) terbentuk, ia tidak lagi menjadi ajudan Panglima Besar. Dengan pangkat mayor, Suprapto diangkat menjadi Kepala Bagian II MBKD yang ketika itu dipimpin oleh Kolonel A.H. Nasution dan berkedudukan di Yogyakarta. Ternyata jabatan itu tidak lama dipangkunya. Dalam tahun itu juga, yakni dalam bulan Oktober 1948, Mayor Suprapto dipindahkan ke SoIo. la dipercayakan memegang jabatan Kepala Staf Divisi II dan sekaligus sebagai perwira diperbantukan pada staf Gubemur Militer Daerah Surakarta – Pati – Semarang yang dipimpin oleh Kolonel Gatot Subroto. Tugas ini cukup berat, sebab pada waktu itu daerah tersebut sedang dilanda oleh pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Setahun kemudian, ketika Perang Kemerdekaan berakhir dan dislokasi pasukan TNI ditata kembali, Suprapto dipindahkan ke Semarang. Jabatan yang dipangkunya ialah Kepala Staf Territorium IV/Diponegoro. Sementara itu pangkatnya sudah dinaikkan setingkat menjadi Letnan Kolonel.

Menjelang akhir Desember 1950 karier militemya semakin meningkat. Suprapto ditarik ke Jakarta. Jabatan baru telah menunggu di Staf Umum Angkatan Darat, yaitu sebagai Kepala Bagian II. Setahun kemudian ia diserahi jabatan sebagai Asisten I Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Pada waktu yang hampir bersamaan Letnan Kolonel Suprapto juga memegang jabatan sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat. Jabatan rangkap ini cukup berat dan menyita banyak perhatian dan tenaga.

Pada waktu itu Angkatan Darat sedang menghadapi gangguan keamanan dalam negeri yang ditimbulkan oleh golongan federalis. Dengan memperalat bekas-bekas KNIL, mereka mencetuskan pemberontakan di Bandung, di Ujungpandang dan di Maluku. Disamping itu timbul pula gangguan keamanan yang dilakukan oleh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).


Menjabat Sebagai Wakil KSAD

Dua tahun lamanya LetkoL Suprapto menjalahkan tugas sebagai Wakil KSAD. Dalam bulan Desember 1953 ia diperintahkan menyerahkan jabatan itu kepada Kolonel Zulkifli Lubis. Sesudah itu ia ditempatkan di Kemen­terian Pertahanan sebagai perwira menengah diperbantukan pada Menteri Pertahanan. Beberapa bulan kemudian dipindahkan lagi dan diperbantukan pada Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan. Terhitung 1 Juli 1954 pangkatnya dinaikkan setingkat menjadi Kolonel. Perpindahannya secara resmi dari Staf Umum Angkatan Darat ke Kementerian Pertahanan baru ter­jadi pada tanggal 1 Januari 1956 ketika Kolonel Suprapto ditunjuk sebagai Sekretaris Gabungan Kepala Staf (GKS). Makin tinggi kedudukan seseorang makin tinggi kemampuan yang dituntut oleh jabatannya itu. Karena itu ia diberi kesempatan untuk mengikuti Kursus C Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) di Bandung. Kursus yang berlangsung selama           beberapa bulan itu diikuti mulai tanggal 6 Agustus 1956.

Selesai mengikuti kursus SSKAD ia diserahi jabatan baru sebagai Deputy KSAD (DE – KSAD) untuk wilayah Sumatera, dan berkedudukan di Medan. Dalam kedudukan tersebut pangkat bintang emas satu, yakni Brigadir Jenderal, terletak di atas bahunya mulai tanggal 1 Januari 1960. Tugas yang dipikulnya tidak dapat dikatakan enteng. Waktu itu wilayah Sumatera baru saja keluar dari kemelut yang ditimbulkan oleh Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Semesta(PRRI/Permesta). Brigjen Suprapto harus bekerja keras untuk menjaga agar pemberontakan seperti itu tidak terulang kembali. Pendekatan dan kerjasama dengan semua aparat pemerintah harus dibina sebaik-baiknya. la harus bijaksana menghadapi tokoh-tokoh TNI yang terlibat PRRI yang pada masa Perang Kemerde­kaan, seperti ia sendiri, berjuang untuk mempertahankan negara dan bangsa. Hal itu diperlukan karena RI sedang dalam proses meningkatkan perjuangan merebut kembali Irian Barat yang masih dikuasai Belanda. Berkat pengalam­annya yang cukup matang, Suprapto berhasil melakukan pendekatan-pende­katan pribadi dengan tokoh-tokoh tersebut. Karena keberhasilan itu ekses dari pemberontakan yang baru saja berakhir itu tidak menimbulkan kete­gangan baru.


Menjabat Sebagai Deputi Administrasi Menteri/Panglima Angakatan Darat

Setelah hampir dua tahun bertugas di Sumatera, Brigien Suprapto dita­rik ke Jakarta pada bulan Juli 1962. Jabatan Deputy Administrasi Menteri/Panglima Angkatan Darat menantinya di Markas Besar Angkatan Darat. Bin­tangnya semakin terang, dan dalam jabatan yang terakhir ini pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Jenderal terhitung mulai Juli 1963. Jabatan ini ter­nyata menjadi jabatan terakhir dalam hidupnya, oleh karena dalam jabatan itulah ia diculik dan kemudian dibunuh oleh gerombolan Gerakan 30 Sep­tember Partai Komunis Indonesia (G 30 S/PKI).

Pada permulaan tahun 1960-an Republik Indonesia sedang sibuknya menghadapi dua masalah besar yang muncul secara berurutan. Pertama ma­salah Irian Barat yang diselesaikan dengan TriKomando Rakyat (Trikora), dan kedua masalah pembentukan Malaysia yang dicoba diselesaikan dengan Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Dalam situasi demikian PKI berusaha menang­guk di air keruh untuk keuntungan politiknya. Suasana konfrontasi dengan Malaysia yang melahirkan gerakan sukarelawan, telah digunakan oleh PKI untuk melatih anggota-anggotanya sebanyak-banyaknya dalam bidang kemi­literan. Para sukarelawan itu akan dijadikan kekuatan bersenjata yang diper­lukan untuk melakukan pemberontakan. Karena belum puas dan untuk men­dapatkan simpati lebih banyak lagi, PKI melancarkan issue adanya rencana serangan terbatas oleh suatu negara asing terbadap RI. Untuk menghadapi hal tersebut PKI mendesak kepada Pemerintah agar memperkuat kekuatan yang sudah ada dengan mempersenjatai kaum buruh dan tani. Saran PKI yang mendapat sokongan dari partai-partai politik dan organisasi massa yang ber­simpati kepada PKI, hampir berhasil dengan adanya gagasan Presiden Sukarno untuk membentuk Angkatan Kelima. Maksud yang terselubung dari saran PKI dapat digagalkan oleh, terutama, TNI-AD. Sebagai imbangannya Staf Angkatan Bersenjata membentuk Satuan Pertahanan Sipil (Hansip) dan Resi­men Mahasiswa (Menwa). Sementara itu pembinaan teritorial oleh TNI lebih ditingkatkan. Tetapi PKI dengan licin juga menyusup ke dalam tubuh TNI-­AD dan membina beberapa anggota TNI-AD dengan ideologi komunis.

Untuk menghadapi semua tantangan PKI itu, jelas sangat diperlukan keberesan administrasi TNI-AD. Ketidak beresan dan ketidaklancaran admi­nistrasi TNI-AD akan dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh lawan. Di sini­lah kemampuan Mayor Jenderal Suprapto diuji. Ternyata berkat kemampuan­nya dan berkat kekompakan TNI-AD, maksud PKI untuk mengacaukan TNI-AD dari dalam berhasil dicegah.

Dari jabatan-jabatan penting yang pernah dipegangnya terlihat bahwa, kepadanya dapat diserahi tanggungjawab yang besar dan penuh pengabdian. Sukses yang diperoleh Mayor Jenderal Suprapto menyebabkan ia termasuk daftar hitam PKI sebagai tokoh yang perlu disingkirkan.

 

GUGUR DALAM PERISTIWA G.30S/PKI DAN MENDAPAT GELAR PAHLAWAN NASIONAL 5 OKTOBER 1965

Siang hari tanggal 30 September 1965, Jenderal Suprapto mencabut giginya yang sakit. Karena itu malam harinya ia merasa kurang enak badan, dan tidak bisa tidur. Dari pada membuang waktu secara percuma, ia membuat suatu lukisan yang akan disumbangkannya kepada Museum Perjuangan di Yogyakarta. Penyempurnaan Museum itu sudah lama menyita perhatian dan pemikirannya. Begitu pula perbaikan rumah-rumah sakit tentara yang diingin­kannya setaraf dengan yang ada di negara maju. Bangunan untuk kantor pusat Angkatan Darat dan Museum Angkatan Darat pun-tidak luput dari pemikiran­nya. Bahkan pada malam itu ia juga sempat membuat catatan dan coretan­coretan mengenai rencana pembangunan gedung tersebut. Ketika Jenderal Suprapto asyik menekuni pekerjaannya, pada waktu yang bersamaan pim­pinan gerombolan yang akan menculiknya sedang mengintai rumahnya.

Kira-kira pukul 04.30 pagi tanggal 1 Oktober 1965 anggota gerombolan G 30 S/PKI membuka pintu pagar. Anjing yang tidur di sebelah kiri rumah terbangun dan menggonggong. Jenderal Suprapto pun terbangun dan mena­nyakan siapa di luar. Dari luar terdengar jawaban “Cakrabirawa”. Jenderal Suprapto dan isterinya tidak curiga, sebab pasukan Cakrabirawa adalah pasu­kan terpercaya sebagai pengawal Istana dan Presideri. Mereka ke luar kamar  membukakan pintu depan. Di teras terlihat beberapa anggota penculik. Salah seorang di antaranya melaporkan bahwa Jenderal Suprapto dipanggil Presiden, dan harus menghadap pagi itu juga ke Istana. Sebagai seorang per­wira yang patuh kepada Panglima Tertinggi, Jenderal Suprapto bersedia pergi. Ia meminta agar mereka menunggu sebentar karena ia akan menukar pakaian terlebih dahulu. Tetapi para penculik tidak mengizinkannya. Sebelum menya­dari keadaan yang sebenarnya, ia ditodong dengan senjata dan dibawa dengan paksa ke luar pekarangan. Beberapa orang memegang tangannya. Dengan berpakaian piyama dan sarung, Jenderal Suprapto dinaikkan ke atas sebuah truk yang telah menunggu. Sesudah itu ia dibawa ke Lubang Buaya, basis gerombolan G 30S/PKI. Di tempat itu, sebelum dibunuh, ia dianiaya lebih dahulu dengan mengikat tubuhnya. Jenazahnya dilemparkan begitu saja ke dalam sumur tua yang sempit bersama-sama dengan jenazah perwira-perwira lain yang berhasil dicuIik oleh gerombolan G 30S/PKI.

Ibu Suprapto yang menyadari betapa gawatnya keadaan yang dihadapi suaminya berusaha untuk menolongnya. Laporan melalui telepon yang hendak disampaikan kepada Jenderal S. Parman, gagal karena dihalangi oleh gerombolan penculik. Ketika ia sedang menulis surat tentang kejadian yang dialami suaminya, Ibu M.T. Harjono datang terburu-buru dengan wajah duka. Ternyata tragedi itu juga menimpa Mayor Jenderal M.T. Harjono dan bebe­rapa pimpinan TNI-AD lainnya.

Pengkhianatan G 30S/PKI dengan cepat dapat ditumpas. Sumur tua itu diketemukan pada tanggal 3 Oktober 1965 setelah daerah Lubang Buaya dibersihkan dari gerombolan G 30S/PKI. Tepat pada hari ulang tahun ke-20 ABRI, jenazah Mayor Jenderal Suprapto dan jenazah korban-korban lainnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. upacara kebesar­an militer yang mengiringi diliputi mendung duka cita seluruh rakyat Indo­nesia yang Pancasilais.

Jenderal yang bertubuh kekar itu memiliki sepuluh buah tanda jasa sebagai lambang pengabdiannya kepada Negara dan Bangsa. Atas dasar pengabdiannya itu pula, Pemerintah menganugerahinya gelar Pahlawan Revo­lusi pada tanggal 5 Oktober 1965, Pangkatnya secara anumerta dinaikkan setingkat menjadi Letnan Jenderal TNI. Esa hilang dua terbilang tetapi pengabdian dan pengorbanannya tetap dikenang bangsa Indonesia.

Pusjarah TNI

Jl. Gatot Subroto Kav. 16

Leave a Reply

Your email address will not be published.