Kolonel Sugijono Mangunwijoyo (1926-1965)

A.        Masa Kecil Hingga Memasuki Dunia Militer

R. Sugijono Mangunwijoto dilahirkan tanggal 12 Agustus 1926 di desa Gedaran, Gunung Kidul, Yogyakarta, putera dari keluarga R. Kasan Sumitroredjo. Sugijono adalah putra yang ke-11 dari 14 bersaudara. Saudara-saudara­nya yang hidup ada 11 orang. Keluarga Pak Kasan adalah pemeluk agama Islam. Tetapi Sugijono kemudian memeluk agama Protestan. Pak Kasan ada­lah seorang petani, yang juga menjabat sebagai Wakil Kepala Desa di Gedaran. Tanah gunung Kidul yang terkenal gersang menyebabkan Pak Kasan harus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya dan membiayai pendidikan putra-putranya yang banyak itu.

Setelah berusia 6 tahun Sugijono masuk Sekolah Rakyat. Kemudian melanjutkan pelajaran di Schakel School (sekolah guru) di Wonosari selama tiga tahun. la termasuk murid yang rajin dan disenangi oleh teman-temannya, sehingga menjadi pendorong baginya untuk lebih giat belajar.

Sejak kecil Sugijono bersifat pendiam dalam pergaulan sehari-hari banyak temannya yang tertarik akan pribadinya. Sebab di balik sifat pendi­amnya terdapat keramahan, kesopanan dan kerendahan hati. Sugijono ter­masuk orang yang suka berterus terang. Siapapun yang memerlukan perto­longan akan disanggupi dan dikerjakan, tetapi apabila tidak sanggup, ia akan terus terang menjawab tidak.

Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan dua tahun pada sekolah guru pertama di Wonosari, ternyata ia tidak memilih lapangan kerja sebagai guru. Ia lebih tertarik kepada bidang militer. Mungkin karena pengaruh pendu­dukan Jepang semangat prajurit muncul pada dirinya. la menyetujui pendapat waktu itu bahwa, salah satu alat untuk mencapai cita-cita kemerdekaan Bangsa Indonesia ialah dengan adanya tentara. Karena itu sewaktu pemerin­tah pendudukan Jepang membentuk pasukan Peta, ia segera mendaftarkan diri. Ia gembira sekali sewaktu dinyatakan lulus untuk mengikuti pendidikan Peta.

B.        Perjuangannya Dibidang Militer

Kariernya di bidang militer dimulai sebagai Komandan Peleton (budan­co) Peta di Wonosari. Semangat revolusi kemerdekaan mendorongnya untuk ikut mempertahankan kemerdekaan yang telah diperjuangkan para pemimpin bangsa. Ia segera memasuki Badan Keamanan Rakyat (BKR). Sejak tanggal 31 Agustus 1945 ditunjuk sebagai Komandan Seksi BKR di Yogyakarta. Pada tanggal 5 Oktober 1945 dengan pangkat Letnan Dua, Sugijono ditugas­kan sebagai Komandan seksi I Kompi 2 Batalyon 10 Resimen III di Yogyakarta. Setahun kemudian menjadi ajudan pada Batalyon 30 Resimen 22. Mulai tanggal 25 Februari 1947 sebagai ajudan Komandan Brigade 10/III yaitu Letkol Soeharto. Pada tanggal 17 Agustus 1949 dengan pangkat Letnan Satu diangkat sebagai Perwira Operasi Brigade “C” di Yogyakarta. Tanggal 29 Januari 1951 menjadi Komandan Kompi IV Batalyon 411 Brigade “C” di Purworejo.

Tanggal 1 Januari 1955 pangkatnya dinaikkan menjadi Kapten. Dua tahun kemudian ia memangku jabatan sebagai Komandan Kipan I Batalyon 436 di Magelang. Kemudian mulai tanggal 26 Maret 1958 menjabat Wakil Komandan Batalyon 441 Resimen Infanteri di Semarang. Setingkat lagi mulai tanggal 1 Januari 1959 pangkatnya dinaikkan menjadi mayor. Bintangnya semakin terang dan kariernya menanjak terus. Sejak bulan Mei 1961 kepada­nya dipercayakan untuk memimpin Batalyon Infanteri 441/Banteng Raiders III di Jatingaleh. Kemudian pada tanggal 1 September 1961 ditetapkan seba­gai Komandan Kodim 0718/Pati, Korem 73. Pada tanggal 1 Januari 1963 dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Kolonel. Sembilan bulan sebelum pe­cahnya G.30S/PKI ia diserahi tugas Komandan Kodim 0718/Yogya Korem 072 merangkap Pejabat Sementara Kepala Staf Korem 072 yang dijalankan­nya sampai akhir hayatnya. Pada masa itu ia harus bijaksana tetapi tegas menghadapi indikasi dan demonstrasi-demonstrasi yang digerakkan oleh partai dan oknum PKI dalam menyerang lawan-lawannya. Daerah Yogyakarta yang merupakan pusat budaya dan tradisi Jawa, keamanannya tentu juga tergantung atas kebijaksanaan Sugijono.

Dari riwayat pekerjaan tersebut, nyatalah bahwa Sugijono selalu ber­sarna Pak Harto, baik semasa perang gerilya maupun pada waktu Serangan Umum 1 Maret 1949, terhadap kota Yogyakarta yang terkenal itu. Sebagai seorang ajudan, Sugijono tidak segan-segan dalam memberikan saran-saran yang rnenurut hematnya adalah baik.

Demikian pula pada waktu Pak Harto bertugas di Makassar,  Sugijono juga ikut bersamanya waktu tanggal 6 Agustus 1950 Markas Staf Brigade Mataram diserbu dan dikepung oleh anak buah Andi Azis. Para pernberontak yang terdiri dari KNIL/KLbersenjatakan bren carier, scouter humber dan kendaraan lapis baja lainnya. Serangan mendadak ini akhirnya dapat dipukul mundur oleh pasukan TNI dan mendesak mereka mundur sampai ke asramanya di Matoangin dan Kompenen Kis.

Setelah mendapat pengalaman dalam beberapa pertempuran, maka pengalaman-pengalaman itu tidak disimpan begitu saja. Dengan bekal pengalaman-pengalaman itu Sugijono ikut serta memberikan sumbangan pikiran dalam pembentukan Batalyon infanteri 441 Banteng Raiders di Srondol Semarang.

Keluarga Sugijono yang hidupnya rukun dan damai telah dikaruniai enam putra dan seorang putri. Sugijono bercita-cita agar semua putra-putrinya menjadi orang yang jujur. Karena itu ia paling benci pada orang yang tidak jujur. Kegemarannya ialah membaca buku ilmu pengetahuan dan bacaan lainnya yang bernilai ilmiah. Dengan kemahiran bahasa inggris yang dimilikinya, ia dapat menimba ilmu pengetahuan yang berguna bagi kariernya. Ia menya­dari bahwa kemajuan teknologi di bidang persenjataan, hanya akan dapat dipahami bila bahasa internasional tersebut dikuasai. Olah raga yang ia senangi adalah tenis di samping bridge. Kegemaran lain ialah menonton pertunjukan wayang kulit. Bila ada pertunjukan, walaupun tempatnya jauh, ia akan pergi juga untuk rnenikmatinya, Ceritera-ceritera dalam pewayangan sangat me­narik hatinya sebab ceriteranya selalu mengandung nilai-nilai tentang hidup dan kehidupan rnanusia. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari “lakon” suatu pertunjukan wayang kulit. Misalnya kebiasaan seorang ksatria yang rnenjalankan tapa untuk sesuatu tujuan. Pelajaran ini dicontoh oleh Sugijono, meskipun bukan dalam bentuk yang persis. Di samping itu perbuatan tersebut bertujuan melatih diri untuk hidup berprihatin dengan mengurangi makan dan tidur sambil memohon kepada Tuhan agar keluarganya selalu bahagia dan tercapai semua cita-cita.

C.        Isu Dewan Jenderal di Yogyakarta

Pada tanggal 1 Oktober 1965, rakyat Yogyakarta seperti biasanya mendengarkan siaran RRI Jakarta. Terdengar dalam siaran tersebut bahwa di Jakarta telah dibentuk “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letnan Kolonel Untung. Kehidupan rakyat Yogyakarta pada hari itu berjalan biasa. Tetapi rnereka diliputi kebingungan, apakah yang sebenarnya telah terjadi di Jakarta.

Gerakan 30 September PKI di Jakarta tersebut, kemudian bersambung dengan gerakan PKI yang ada di daerah-daerah. Mereka serentak bergerak pada hari itu untuk menghancurkan pemerintahan Republik Indonesia. Aki­bat dari pemberontakan G30S/PKI ini segera terasa di mana-mana. Mereka melakukan teror terhadap rakyat dengan penculikan, penyiksaan dan pembunuhan. Bila di Jakarta pada hari pertama gugur 8 orang Pahlawan Revolusi, maka pada hari-hari berikutnya di Jawa Tengah beribu-ribu rakyat jadi korban kehilangan jiwa dan harta bendanya termasuk Komandan Korem 072 dan Kepala Stafnya.

Pada tanggal 1 Oktober 1965 di Yogyakarta G 30S/PKI telah merebut dan menguasai RRI, Gedung Tehnik di Demangan, Stasiun Kereta Api Tugu, PLN, instalasi minyak dan tempat-tempat penting lainnya. Demikian juga Istana Sri Paku Alam, Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, telah dijaga keras oleh anggota Batalyon L yang pro PKI.

Melalui RRI Yogyakarta disiarkan berita bahwa, telah dibentuk “Dewan Revolusi” daerah Yogyakarta yang diketuai oleh Mayor Mulyono. Mayor Mulyono adalah seorang Perwira Staf 5 Korem 072 yang telah dipengaruhi oleh ajaran-ajaran komunis, sehingga ia ingkar dari Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Dalam gerakannya untuk merebut kekuasaan di Yogyakarta, ia menggunakan pasukan tentara dari Batalyon L yang sebagian anggotanya telah di bawah pengaruh PKI. Untuk memperkuat kekuatan, Mayor Mulyono juga membagi-bagikan senjata kepada anggota-anggota Hansip dan veteran yang jadi pengikutnya. Markas Korem 072 segera diambil alih oleh Mayor Mulyono dan kawan-kawannya. Waktu itu baik Dan Rem 072 maupun Kepala Stafnya tidak berada di tempat. Kolonel Katamso sedang bertugas ke Magelang.

D.        Gugur Sebagai Pahlawan Revolusi dan Mendapat Gelar Pahlawan Nasional 5 Oktober 1965

Pada tanggal 1 Oktober 1965, pukul 04.00 Letnan Kolonel Sugijono telah berangkat ke Pekalongan untuk sesuatu keperluan. Pada hari itu juga ia kembali dan singgah di Semarang. Tetapi ia melihat ada perubahan situasi di kota Semarang. Bisa dilihat dan dirasakan, tapi apa dan bagaimana perubahan itu tidak dapat diketahuinya. Oleh karena itu ia segera melanjutkan perjalan­an kembali ke Yogya. Di tengah perjalanan antara Ambarawa – Magelang, ia bertemu dengan Pangdam VII Brigjen Surjosumpeno. Letnan Kolonel Sugijono melaporkan tentang adanya perubahan situasi di kota Semarang ­dan menyarankan agar Panglima jangan kembali ke Semarang dulu.

Pukul 18.00 Letnan Kolonel Sugijono tiba di Yogya. Karena ada pera­saan was-was terus ia menuju ke rumah Kolonel Katamso. Di sini ia menanya­kan apakah ada Bapak di rumah. Putra-putri Kolonel Katamso menyatakan bahwa Bapak sudah diambil oleh anggota-anggota Batalyon L pukul 17.00 sore tadi. Dengan bergegas Letnan Kolonel Sugijono segera berangkat ke Markas Korem 072. Di sana ia menelpon istrinya dengan mengatakan, “Bu saya baru datang dari Pekalongan, tapi belum dapat pulang ke rumah, masih sibuk di kantor. Masih banyak yang harus saya kerjakan.” Itulah suara suami­nya yang terakhir yang didengar oleh IbuSugijono. Letnan Kolonel Sugijono sama sekali tidak mengetahui bahwa Markas Korem 072 waktu itu sudah dikuasai oleh Mayor Mulyono cs, oknum-oknum G 30S/PKI. Ia tidak sadar bahwa sebenarnya ia telah masuk dalam perangkap lawan-Iawannya.

Di Markas Korem 072 mula-mula ia bertemu dengan Kapten Kusdibyo dan Kapten Sukarman. Kepada kedua perwira ini diceritakan tentang perjalanannya dan perjumpaannya dengan Panglima di Bawen. Kemudian karena ia ingin mengadakan briefing dengan perwira-perwira lainnya, maka disuruh­nya Kapten Kusdibyo untuk memanggil Mayor Kartowi dan Mayor Mulyono. Akan tetapi kedua perwira itu tidak berada di tempat. Ruangan Seksi II ko­song, Mayor Mulyono pergi. Sedang Mayor Kartowi ada di ruangan Piket di muka Markas. Peltu Sumardi dengan beberapa orang temannya segera masuk ke kamar komandan. Sedang Kapten Kusdibyo sendiri kemudian bersembu­nyi, karena melihat gerak-gerik yang mencurigakan. Dari jarak beberapa meter Kapten Kusdibyo melihat Letnan Kolonel Sugijono dibawa pergi dengan todongan pistol oleh Peltu Sumardi yang diiringi oleh dua orang pralurit bersenjata di belakangnya. Letnan Kolonel Sugijono dibawa dengan mobil gaz ke Kentungan, yang terletak 6 km sebelah utara Yogyakarta. Ke tempat itu pula satu jam sebelumnya Kolonel Katamso dibawa.

Atas perintah Mayor Wisnuwidji (Komandan Batalyon L), maka Kolo­nel Katamso dan Letnan Kolonel Sugijono ditahan di Kentungan dengan penjagaan yang kuat. Rencana pembunuhan terhadap kedua perwira tersebut sudah diatur sebelumnya oleh Peltu Sumardi, Pelda Kamil dan kawan-kawan­nya. Pelda Kamil menugaskan kepada Sertu Alip Tojo untuk menjadi algojo bagi Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugijono dengan pemukul besi yang berupa kunci mortir 8.

Pada pukul dua tengah malam dilakukan penggalian lubang kubur di kompleks asrama Kentungan. Yang menggali lubang adalah Alip Tojo, Dirus, Kartimin dan Darno. Setelah selesai menggali lubang sedalam satu meter, kedua perwira tersebut dibawa satu persatu untuk dibunuh. Mula-mula Let­nan Kolonel Sugijono yang dibawa dan disuruh turun dari mobil gaz. Pelda Kamil memerintahkan Sertu Alip Tojo agar cepat melakukan pembunuhan. Dengan segera kepala Letnan Kolonel Sugijono dipukul dari belakang. Ter­nyata pukulan dengan kunci mortir 8 itu tidak mematikan. Korban itu belum juga jatuh. Sekali lagi Sertu Alip Tojo mengayunkan pukulan maut. Sebetulnya Letnan Kolonel Sugijono sebelum dipukul masih melaku­kan perlawanan. Usahanya membela diri sia-sia karena jumlah lawannya banyak. Setelah Letnan Kolonel Sugijono jatuh tersungkur kemudian dimasuk­kan ke dalam lubang yang telah disediakan. Gugurlah sudah pahlawan bangsa di tangan para pengkhianat bangsanya sendiri. Kuburan maut baru diketemu­kan tanggal 21 Oktober 1965 setelah dilakukan pencarian yang intensif. Dua jenazah perwira yang berpakaian lengkap diketemukan dalam keadaan rusak. Besok harinya tanggal 22 Oktober 1965 kedua jenazah ini dimakamkan di Taman Pahlawan Kusumanegara Semaki, Yogyakarta dengan diantar oleh isak tangis rakyat yang anti komunisme. Kini makam Letnan Kolonel Sugijo­no berada di Taman Pahlawan Semaki, Yogyakarta, seperti yang pernah di­inginkannya. Berdasarkan Keputusan Presiden RI ia ditetapkan sebagai Pah­lawan Revolusi. Di samping itu pangkatnya dinaikkan satu tingkat menjadi Kolonel Anumerta.

Salam Sejarah

Kenali Sejarahmu

Cintai Bangsamu

Pusjarah TNI

Jl. Gatot Subroto Kav. 16

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *