Peran Papua dalam Peperangan Nuku Melawan Pemerintah VOC Tahun 1781-1798
Pada tahun 1667 VOC (Vreenigde Oost Indische Compagnie/Pemerintah Hindia Timur) berhasil memaksa Sultan Tidore menandatangani kontrak monopoli cengkih. Kontrak ini pada dasarnya hanya mengatur hak tunggal VOC dalam membeli dan mengangkut cengkih dari kerajaan-kerajaan Maluku. Sebagai konsekuensi dari kontrak tersebut, VOC berhasil mendirikan beberapa buah benteng di Tidore. Dengan dibangunnya benteng-benteng tersebut, kedudukan VOC semakin kuat dan peluang untuk menguasai kerajaan-kerajaan di Maluku semakin terbuka. VOC tidak saja melakukan monopoli di bidang perdagangan rempah-rempah, tetapi juga ikut campur dalam urusan tata pemerintahan kerajaan. Salah satu bentuk ikut campur tangan VOC terhadap urusan dalam negeri kerajaan Tidore adalah saat pengangkatan raja di Tidore. Dari garis keturunan Sultan Jamaludin, Sultan Tidore ketika itu, seharusnya yang berpeluang menjadi sultan adalah salah seorang putranya, Pangeran Nuku. Tetapi, ketika Sultan Jamaludin ditangkap oleh VOC, yang menjadi sultan setelahnya adalah Patra Alam, putra dari Kaicil Gayjira, salah seorang paman dari Jamaludin. Nuku sangat kecewa dengan konspirasi ini dan memprotes kepada gubernur Ternate, Gubernur Cornabe, mengenai pengangkatan Patra Alam. Protesnya tidak ditanggapi, akibatnya Nuku mengangkat senjata dan mengadakan perlawanan terhadap VOC.
Patra Alam dengan dibantu oleh Cornabe kemudian menghimpun kekuatan, untuk menyergap Nuku di rumahnya pada tanggal 2 Juli 1780. Namun, Nuku berhasil meloloskan diri, dan untuk sementara berada di Patani, Halmahera Selatan. Dari sini Nuku mengirimkan utusan-utusannya kepada bobato (kepala desa) di Halmahera dan para raja di kepulauan Raja Ampat agar melakukan perlawanan terhadap Patra Alam dan VOC. Raja Ampat adalah bagian dari wilayah Papua, yang terdiri dari empat kerajaan yaitu kerajaan Salawati, Waigeo, Batanta, dan Misool. Pada masa itu, Kepulauan Raja Ampat, Papua berada di bawah kedaulatan Kerajaan Tidore.
Ajakan Nuku tersebut mendapatkan sambutan, terutama dari Raja Salawati. Ia mengirimkan 45 kora-kora untuk membantu Nuku. Sementara itu, dari daerah Patani sendiri berhasil dikumpulkan 20 buah kora-kora sekaligus dengan awaknya. Jumlah 65 kora-kora merupakan jumlah yang cukup besar, karena satu kora-kora bisa memuat 150 orang bersenjata ditambah satu atau dua meriam. Daerah lain seperti Gebe, Waigeo, dan Waigama memberikan sumbangan masing-masing tiga buah kora-kora. Bantuan dari raja-raja kepulauan Papua ini sangat membantu peperangan Nuku dalam melawan VOC. Selain masuk dan menjadi bagian dari kesultanan Tidore, yang menjadi penyebab Papua membantu perang Nuku adalah usaha Belanda yang melakukan politik Ekstirpasi, yaitu menebang dan menumpas pohon-pohon cengkeh dan pala, serta memonopoli produk-produk tersebut yang berarti merugikan pihak Tidore. Kerugian ini tentu saja berimbas pada wilayah-wilayah kekuasaannya, tidak terkecuali Papua. Belum lagi adanya pertikaian dalam pemerintahan Tidore akibat Belanda campur tangan dalam pemilihan penguasa Tidore. Sehingga, tidak mengherankan Papua memberikan dukungannya bagi Pangeran Nuku dalam berperang menghadapi VOC. Ketidaksenangan Papua semakin diperparah ketika VOC mengirimkan satu angkatan kora-koranya ke pulau Papua yang masuk wilayah kekuasaan kerajaan Tidore untuk membuat keonaran.
Serangan ke Seram Timur yang telah direncanakan dan dipersiapkan sejak lama, akhirnya dilaksanakan. Nuku dengan kekuatan armada kora-kora berangkat ke Seram Timur membebaskan daerah tersebut dari kekuasaan VOC. Rakyat di Maluku, Seram, dan Papua mengangkat senjata membantu Nuku. Pasukan kora-kora Misool yang bertugas di Laut Seram menyergap pasukan ekstirpasi Kompeni Belanda di Pulau Obi di sebelah selatan Bacan. Lebih separuh prajurit Kompeni tewas dalam perkelahian, sebagian melarikan diri ke dalam hutan, dan sebagian lagi jatuh ke dalam tangan orang Misool sebagai tawanan. Tawanan dan barang rampasan selanjutnya diangkut ke Salawati. Perlawanan Nuku ini, memaksa Cornabe menyusun sebuah armada yang terdiri dari beberapa buah kapal Kompeni dan dirnintanya beberapa puluh kora-kora dari Patra Alam lengkap dengan orang dan perlengkapannya. Maksudnya hendak membebaskan perwira dan prajurit Belanda yang ditawan di Salawati, menghukum raja-raja Salawati dan Misool sebab mereka melakukan “pembajakan laut”.
Seluruh Seram Timur mengakui kekuasaan Nuku, demikian pula pulau-pulau disebelah timurnya, mulai dari Seram Laut sampai Kepulauan Kei, dan Aru. Nuku memilih Rarakit di pantai utara Seram Timur sebagai pusat kekuasaan. Alasannya adalah, daerah Rarakit memiliki beberapa perbentengan yang kuat. Pada tahun 1780 Nuku dinobatkan sebagai Sultan Tidore dengan gelar Sri Maha Tuan Sultan Mohammad Amiruddin Syaifuddin Shah Kaicili Paparangan oleh wilayah-wilayah yang mengakuinya sebagai seorang sultan. Penyebutan demikian karena pulau dan daerah itu betul-betul dikuasai oleh Nuku, yaitu meliputi: Patani, Batanta dan Salawati, Waigama dan Misool, Seram Timur dan pulau-pulau di sebelah tenggaranya sampai dengan Pulau-pulau Kai, Irian Barat, maka dapat dimengerti alasan mengapa Nuku menyebut dirinya dengan gelar “Sultan Papua dan Seram”.
Sementara itu, pertempuran dengan pasukan VOC terus berlangsung. Kedudukan saling menyerang diteruskan, dengan VOC tetap memanfaatkan keluarga dari pihak Sultan Nuku. Penyerangan ke Tidore yang masih dikuasai VOC terus dilakukan dengan strategi yang tepat. Nuku mengerahkan semua kekuatan honginya dengan dibantu oleh bobato dan raja-raja di sekitar Tidore. Kekuatan armada Nuku sekitar 150 buah kora-kora dengan anak buahnya sekitar 6.000 orang. Nuku menggunakan siasat perang laut untuk menyerang Soa Siu yang dipimpinnya sendiri dengan menggunakan sebuah kapal perang. Dalam penyerangan ini, pasukan Nuku tetap mendapat bantuan dari pasukan-pasukan yang dipimpin oleh Raja Salawati, yang bertugas melindungi Nuku dari belakang dan mencegah serangan VOC yang datang dari arah Ternate. Seluruh armada penyerangan ini bergerak pagi hari tanggal 12 April 1797.
Pasukan Nuku mendarat di Soa Siu tanpa mengeluarkan peluru satu pun dan disambut rakyatnya dengan kegembiraan. Soa Siu pada masa kemudian dijadikan sebagai ibukota Papua oleh Presiden Soekarno. Soekarno ingin menunjukkan bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia, dengan menjadikan Soa Siu sebagai ibu kota Papua. Nuku kemudian dinobatkan kembali sebagai sultan, setelah menyingkirkan Kamaluddin, saudaranya yang diangkat oleh VOC sebagai sultan Tidore, dan setelah berperang selama tujuh belas tahun melawan VOC.