Mengenal Radar Plessey AWS- 2, Koleksi Baru Museum Satriamandala
(Pusjarah TNI). Pada hari Minggu tanggal 5 September 2021, Museum Satriamandala menerima kedatangan koleksi baru berupa Radar Plessey AWS-2 buatan Inggris. Adapun ruang untuk penempatan koleksi radar tersebut, yaitu di taman depan sebelah kiri berdampingan dengan koleksi radar NYSA B buatan Polandia. Koleksi radar canggih ini merupakan hibah dari Mabes TNI AU untuk melengkapi koleksi yang ada di Museum Satriamandala. Adapun koleksi Radar saat ini sedang dalam proses finishing pemasangan setelah perakitan. Penambahan koleksi Radar Plessey AWS-2 ini sangat terkait dengan program revitalisasi Museum Satriamandala yang dicanangkan oleh Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, S.I.P., pada saat peletakan batu pertama dimulainya pembangunan Museum Dharma Pertiwi.
Mengapa koleksi Radar Plessey AWS-2 ini sangat penting karena radar tersebut telah berperan krusial dalam mendukung tugas operasional pertahanan udara. Selain itu penambahan koleksi ini bertujuan menjadikan museum sebagai wahana edukasi bagi masyarakat. Khususnya kaum generasi muda, agar paham bahwa peran Radar Plessey AWS-2 telah menjadi ‘mata dan telinga’ dalam pengamanan perbatasan wilayah laut dan udara NKRI sangat strategis.
Hal ini juga sejalan dengan program Kapusjarah TNI Brigjen TNI Triwahyu Mutaqin Akbar, S.Sos., yang mengusung gagasan dengan slogan, “Kenali Sejarahmu Cintai Bangsamu”. Kapusjarah TNI sangat concern dalam menjadikan museum dan monumen di lingkungan Pusjarah TNI sebagai wisata edukasi sejarah yang penting bagi pembinaan nasionalisme dan patriotisme generasi muda. Oleh karenanya semua yang berkerja di museum dan monumen di lingkungan Pusjarah TNI dituntut selalu memunculkan ide-ide yang kreatif dan inovatif agar menjadikan museum dan monumen sebagai tempat edukasi yang nyaman dan menarik.
Dalam sejarahnya sebagaimana tercatat di Indomiliter com, Radar AWS-2 ini disebut legendaris hal ini terkait proses pengadaan radar tersebut yang berlangsung pada awal tahun 1962 saat persiapan Operasi Trikora untuk merebut Irian Barat. Indonesia saat itu melakukan pengadaan alutsista besar-besaran, tak hanya pada adopsi sistem senjata tercanggih pada masanya seperti jet tempur MiG-21F, pembom strategis TU-16 dan kapal penjelajah KRI Irian. TNI pun juga ikut memboyong sistem perangkat radar ini sebagai komponen sistem pertahanan udara (hanud) nasional. Tebaran jaringan radar ini diperlukan untuk melindungi obyek vital di Pulau Jawa dan Sumatera, dan sebagai elemen GCI (Ground Control Intercept) dan EW (Early Warning) pada pangkalan aju di daerah operasi.
Program pengadaan radar pada masa itu diberi sandi Operasi Kresna. Operasi ini secara khusus digelar untuk mencari radar-radar yang ideal digunakan TNI guna mendukung pelaksanaan operasi Pertahanan Udara. Radar Plessey AWS-2 buatan Inggris tahun 1960 adalah radar yang cukup canggih pada masanya. Radar ini masuk pada periode tahun 1963 –1964 di Tanjung Kait, Banten, dan diinstall pertama di Cisalak. Kegiatan instalasi dilaksanakan oleh ahli dari Inggris yang dibantu tenaga-tenaga ahli dari AURI.
Namun sayangnya kegiatan ini terhambat karena konflik Indonesia – Malaysia, dimana Malaysia disponsori oleh Inggris. Dengan konflik ini, maka pada awal tahun 1964 para teknisi Inggris ditarik pulang dan sebagian suku cadang tidak dilanjutkan pengirimannya dan membuat penginstalasian radar terbengkalai. Meski begitu beberapa radar yang sudah diinstalasi tetap dapat dioperasikan.
Setelah kegagalan dari sebagian Operasi Kresna, maka AURI kembali berusaha untuk mendatangkan radar dari Blok Timur. Maka dimulailah suatu periode instalasi Radar P-30 Rusia di Palembang dan Tanjung Pandan, Radar Nysa-C Polandia di Cengkareng, Cibalimbing dan Radar Decca Plessy LC di Palembang.
Sesuai perkembangan teknologi saat itu, radar-radar tersebut masih sangat sederhana dan hanya menyuguhkan bearing dan range pada console, namun dengan kemampuan deteksi rata-rata 120 sampai dengan 180 NM (nautical mile) atau sekitar 280 km, keberadaan radar-radar tersebut mampu memberikan informasi seluruh pesawat yang memasuki wilayah udara Indonesia, khususnya Pulau Jawa.
Merujuk dari spesifikasinya, AWS-2 generasi pertama dari Inggris ini, sistem bekerjanya sama dengan prinsip kerja Radar pada umumnya. Radar AWS merupakan gabungan antara Decca Radar dan Plessey. Meski berasal dari teknologi analog, radar AWS 2 telah dimodifikasi sehingga dapat diubah menjadi digital. Kemampuannya pun ditingkatkan, seperti dapat menampilkan informasi secara real target dan real time di Posek Hanudnas I, dan dilengkapi pula dengan perangkat tambahan, yaitu SBM (Satelit Bumi Mini) K3I. Peralatan ini dapat dimanfaatkan sebagai latihan intersepsi bagi personel GCI Controller. Komponen radar ini terdiri dari antena, sistem pengirim (transmitter), sistem penerima (receiver) dan tampilan (display). Untuk display-nya menggunakan kepunyaan radar Plessey MK-8.
Radar AWS-2 hingga kini masih digunakan oleh Satrad (Satuan Radar) 214 di Pemalang, Jawa Tengah dan Satrad 215 di Congot, Yogyakarta, serta Satrad 221 di Ngliyep, Jawa Timur. Dari nama-nama radar yang pernah eksis di dekade 60-an, kini tinggal jenis radar AWS-2 yang masih beroperasi, sebelum nantinya digantikan oleh jenis radar-radar baru. Kohanudnas kini juga telah menggunakan beberapa radar yang lebih baru dan canggih, seperti AR 325 Commander, Thomson TRS-2215/TRS-2230 dan Master-T.
Namun seiring perkembangan kemajuan teknologi dan pesawat tempur, kondisi alutsista Radar AWS 2 dan seluruh fasilitas operasinya mulai banyak mengalami kerusakan dan penurunan kemampuan deteksi. Pada tahun 1997 Radar Plessey AWS-2 ini direvitalisasi di Depolek 02 SMO (sekarang DEPOHAR 50, Solo, Jawa Tengah) menggunakan antenna Decca Plessey Hydra dari Cisalak. Kemudian pada awal tahun 2000 Radar ini digeser dan diinstall di Satrad 215 di Congot. Pada tahun 2018 dilaksanakan Reinstall Antenna Radar Plessey AWS 2 diganti dengan Radar Weibel MR-II buatan Denmark yang mampu menjelajah hingga 550 km. Selanjutnya pada tahun 2021, Radar Plessey AWS 2 ini diabadikan menjadi koleksi Museum Satriamandala, Jakarta.