Resensi Buku : Indonesia Merdeka Karena Amerika? Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia, 1920-1949

Oleh: Muhammad Radima Rahmad

  1. Judul Resensi: “Perubahan Politik Luar Negeri Amerika Serikat Terhadap Indonesia Pasca Perang Dunia II dan Awal Perang Dingin”.
  2. Identitas Buku.

a. Judul Buku                 : “Indonesia Merdeka Karena Amerika?  Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia, 1920-1949

b. Pengarang                 : Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg

c. Kota Penerbitan        : Jakarta

d. Tahun Penerbitan     : 2008

e. Ketebalan                   : 487 halaman

f. Nomor ISBN               : 978-979-1275-96-5

3. Pendahuluan

Dalam proses kemerdekaan atau pengakuan kedaulatan Republik Indonesia sebagai suatu negara, terdapat peran serta keterlibatan negara-negara tertentu untuk membantu tujuan tersebut. Sebagaimana pada buku yang berjudul Indonesia Merdeka Karena Amerika? Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia, 1920-1949, Amerika Serikat sebagai negara adikuasa pada saat itu memiliki peran dan keterlibatan yang penting dalam proses menuju kedaulatan Indonesia. Peran dan keterlibatan Amerika Serikat didasarkan pada sudut pandang yang diberikan oleh para aktor-aktor tertentu terutama dari para pemangku kebijakan luar negeri di Washington besera para utusan yang berada di Indonesia. Dalam hal ini terutama sudut pandang yang berkaitan dengan konteks Perang Dingin. Akibat terjadinya Perang Dingin, para pemangku kebijakan di Washington “mengantarkan” Indonesia menuju pengakuan kedaulatan sebagai negara yang merdeka. Dengan adanya peran dan keterlibatan Amerika Serikat dalam pengakuan proses pengakuan kedaulatan Indonesia, maka kemerdekaan yang diperoleh Indonesia bukan semata-mata hasil perjuangan sendiri bangsa Indonesia melainkan ada peran dan keterlibatan negara-negara lain.

Hal tersebut menunjukkan adanya sisi lain yang perlu diketahui dan dipahami oleh siapapun bahwa proses pengakuan kedaulatan Indonesia ternyata melingkupi aspek yang lebih luas dan ini memperkaya wawasan para pembaca yang ingin mengetahui dan memahami proses tersebut. Di samping Amerika Serikat terdapat negara-negara lain seperti Inggris, Belanda, Australia, Belgia, Jepang, dan sebagainya serta PBB yang membantu “mengantarkan” Indonesia menuju pengakuan kedaulatan. Meskipun Amerika Serikat melalui para pemangku kebijakan luar negeri di Washington berperan dan terlibat dalam proses pengakuan kedaulatan Indonesia, para pimpinan Indonesia yang berada di Jakarta dan kemudian berpindah ke Yogyakarta telah menunjukkan kemampuan diplomasi yang luar biasa. Terutama para pendiri bangsa Indonesia pada saat itu yang terdiri atas Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan sebagainya mampu menanggapi segala retorika Washington dan Den Haag dengan sangat lihai yang ditunjukkan ke dalam kemampuan diplomasi serta mengambil peluang dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan kedua negara tersebut dalam konteks dekolonisasi dan Perang Dingin.

4. Isi Resensi

Buku ini secara umum menguraikan perkembangan sudut pandang Amerika Serikat yang dipengaruhi oleh para aktor yang memiliki pengalaman langsung maupun tidak langsung terhadap Indonesia sejak 1920-an hingga 1940-an. Secara khusus sudut pandang Amerika Serikat telah memengaruhi para pemangku kebijakan luar negeri Washington beserta para utusan untuk berperan dan terlibat di dalam proses pengakuan  kedaulatan Indonesia yang terlihat pada periode pasca Perang Dunia II 1945-1949. Pasca Perang Dunia II Amerika Serikat mendukung Sekutunya, yakni Belanda dalam menjalankan dekolonisasi yang kemudian mengalami perubahan ketika konteks Perang Dingin sangat memengaruhi kebijakan luar negeri Washington, sehingga menyebabkan perubahan sikap Amerika Serikat terhadap masalah Indonesia. Semua hal tersebut dimuat di dalam kesembilan bab pada buku ini.

Bab Satu Kebijakan Luar Negeri AS dan Akhir Kekuasaan Kolonial Belanda di Asia Tenggara: Suatu Tinjauam Umum membahas pandangan umum Washington terhadap kemerdekaan Indonesia. Pandangan awalnya Amerika Serikat tidak terlalu menanggapi kemerdekaan Indonesia karena Washington lebih berfokus pada situasi yang dihadapi di Eropa pasca Perang Dunia II, sehingga membiarkan Belanda sebagai Sekutunya Amerika Serikat kembali ke Indonesia. Hal itu didukung Amerika Serikat, karena pemulihan ekonomi negara-negara Eropa terutama Sekutu sangat bergantung pada sumber ekonomi yang berada di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Amerika Serikat pun diam-diam mendukung Belanda dengan memberikan berbagai bantuan melalui Rencana Marshall terutama bantuan militer untuk kembali ke Indonesia. Akan tetapi, selama kehadiran Belanda di Indonesia terjadi perubahan sikap di Washington terhadap rencana rekolonisasi Belanda di Indonesia. Perubahan sikap Washington didasarkan pada situasi stagnan dari ketegangan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang terjadi di Eropa selama kurun waktu dua tahun pasca Perang Dunia II. Keadaan itu membuat Washington mengalihkan perhatian ke Asia termasuk Indonesia yang telah berhasil mengalahkan kelompok komunis, sehingga menganggap Indonesia sebagai wilayah yang penting dalam konteks Perang Dingin dan ini membuat Washington mendukung pengakuan kedaulatan Indonesia.

Bab Dua “It’s 1776 in Indonesia” membahas kemerdekaan Indonesia yang mirip dengan kemerdekaan Amerika Serikat. Kemiripan tersebut didasarkan pada keadaan psikologis para pemimpin Indonesia yang telah mendapatkan pengetahuan mengenai kemerdekaan Amerika Serikat yang berani melawan kolonialisme Inggris. Amerika Serikat yang berhasil merdeka dari Inggris memberikan harapan kepada negara-negara yang masih dijajah bahwa setiap negara berhak untuk mencapai kemerdekaan dan ini menjadi inspirasi bagi para pemimpin Indonesia pada saat itu. Para pemimpin Indonesia pada saat itu sering kali menyampaikan gagasan-gagasan kemerdekaan Indonesia yang berasal dari Amerika Serikat. Ketika para pemimpin Indonesia memproklamasikan dan mempertahankan kemerdekaan, mereka melakukannya dengan cara yang serupa dengan Amerika Serikat.

Bab Tiga Ancaman Jepang dan Pengakuan Amerika Serikat Atas Nilai Strategis Indonesia, 1938-1945 membahas Amerika Serikat yang menyadari Indonesia sebagai wilayah yang penting. Kesadaran tersebut berasal dari kecurigaan Amerika Serikat terhadap Jepang yang memiliki ambisi untuk melakukan ekspansi ke selatan (Asia Tenggara termasuk Indonesia). Jepang membutuhkan pasokan bahan mentah yang ada di Asia Tenggara terutama kekayaan minyak yang ada di Indonesia. Ketika Perang Dunia II terjadi, kecurigaan Amerika Serikat terhadap Jepang menjadi kenyataan. Jepang berhasil menguasai Indonesia dan mengakhiri kolonialisme Belanda di Indonesia. Pendudukan Jepang di Indonesia telah membentuk kesadaran serta praktik berpolitik rakyat Indonesia dan bahkan ketika Jepang telah dikalahkan oleh Amerika Serikat dalam Perang Dunia II, rakyat Indonesia yang telah menderita selama pendudukan Jepang mencapai fase tertinggi nasionalisme dengan memproklamasikan kemerdekaan. Setelah proklamasi kemerdekaan, rakyat Indonesia mengalami radikalisasi dan terkesan anarkis, karena memiliki sentimen negatif terhadap orang-orang Eropa terutama Belanda yang mana ini merupakan dampak yang diperoleh selama pendudukan Jepang. Ketika Jepang telah menyerah dalam Perang Dunia II, Amerika Serikat beserta Sekutunya datang ke wilayah-wilayah pendudukan Jepang di Asia termasuk di Indonesia untuk membebaskan orang-orang Eropa dan merasa perlu “mengamankan” wilayah Indonesia ke dalam kendali Sekutu untuk menghadapi situasi internasional pasca Perang Dunia II. Termasuk membawa kembali Belanda untuk merekolonisasi Indonesia yang dikemudian hari menimbulkan gesekan-gesekan, ketegangan, bahkan konflik antara rakyat beserta para pejuang Indonesia dengan otoritas Sekutu tanpa menyadari bahwa Indonesia telah mengalami radikalisasi dan terkesan anarkis.

Bab Empat Politik Kemerdekaan Republik Indonesia dan Reaksi Internasional, 1945-1949 membahas dampak dari pendudukan Jepang dan upaya rekolonisasi Indonesia. Setelah pendudukan Jepang, masyarakat Indonesia mengalami radikalisasi dan terkesan anarkis. Hal tersebut kemudian ditunjukkan kepada otoritas Sekutu yang berada di Indonesia. Keberadaan Sekutu di Indonesia yang membawa misi rekolonisasi telah membuat masyarakat Indonesia harus melawan segala bentuk penjajahan kembali demi mempertahankan kemerdekaan. Masyarakat Indonesia kemudian tidak segan-segan untuk melakukan perlawanan dengan menyerang basis-basis keberadaan otoritas Sekutu. Melihat ketidakharmonisan tersebut, dunia internasional dalam hal ini Belanda dan Amerika Serikat menganggap bahwa sikap politik Indonesia pada umumnya masih prematur dan belum mengalami kedewasaan. Pandangan tersebut didasarkan pada kualitas sumber daya manusia Indonesia yang masih dianggap rendah. Akan tetapi, anggapan semacam itu mudah saja dibantah dengan kemampuan berpolitik para pemimpin Indonesia saat itu yang ditunjukkan melalui kebolehan dalam berdiplomasi. Kemampuan berdiplomasi para pemimpin Indonesia dalam upaya mempertahankan kemerdekaan menyadarkan dunia internasional terutama Amerika Serikat bahwa para pemimpin Indonesia memiliki kemampuan berpolitik yang berkualitas. Walaupun demikian, Indonesia tetap mengalami berbagai hambatan dan rintangan dalam proses menuju pengakuan kedaulatan terutama kaitannya dengan Perang Dingin yang pada awalnya merumitkan dan kemudian memberikan jalan menuju proses tersebut.

Bab Lima Awal Perang Dingin dan Sudut Pandang AS terhadap Dekolonisasi di Asia Tenggara Sesudah Perang Dunia II membahas awal dari praktik kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap Indonesia yang berorientasi pada Perang Dingin. Ketika Perang Dunia II berakhir, terjadi keretakan hubungan di antara negara Sekutu terutama Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dalam pandangan Washington hal itu terjadi karena kegagalan menjalin interaksi atau hubungan lebih jauh antara Amerika Serikat dan Uni Soviet serta adanya ekspansi dan infiltrasi komunis ke negara-negara Eropa. Bagi Amerika Serikat itu berarti ancaman terhadap Barat dan segera ditanggapi dengan melakukan politik pembendungan di Eropa. Dalam konteks dekolonisasi dan Perang Dingin, Washington menganggap dengan mendukung Sekutu Baratnya termasuk Belanda itu berarti mengamankan kepentingan Amerika Serikat. Washington pun mendukung Den Haag untuk kembali ke Indonesia, tetapi tidak terlibat lebih jauh dalam urusan Indonesia dan sekadar memberi bantuan militer dan politik secara diam-diam kepada Belanda. Amerika Serikat hanya fokus terhadap Eropa dan mengabaikan nasionalisme negara-negara Asia termasuk Indonesia. Akan tetapi, di kemudian hari Amerika Serikat berubah sikap, karena mengetahui bahwa masa depan Perang Dingin di Eropa tidak lagi krusial dan menyadari arena Perang Dingin bergeser ke Asia terutama di Asia Tenggara. Amerika Serikat menyadari bahwa wilayah Asia Tenggara sangat penting terutama secara ekonomi dan pertahanan. Akhirnya Washington mengalihkan perhatian ke Asia Tenggara dan terlibat di dalam urusan penyelesaian masalah Indonesia yang berdasarkan orientasi Perang Dingin. Hal tersebut dilakukan setelah terjadi bentrokan antara tentara Sekutu dan para pejuang Indonesia di beberapa daerah di Jawa yang menjadi sorotan beberapa negara dan dunia internasional yang kemudian mendorong untuk dilakukan upaya penyelesaian secara damai.

Bab Enam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia dan Dunia Luar: Inggris, Australia, dan AS Mencari Penyelesaian Damai membahas upaya-upaya yang dilakukan beberapa negara untuk menyelesaikan masalah Indonesia. Upaya pertama yang dilakukan oleh Inggris sebagai otoritas Sekutu yang bertugas di Indonesia mengupayakan mediasi kepada Indonesia dan Belanda. Meskipun pada awalnya mengalami hambatan, tetapi kemudian menghasilkan suatu perundingan yang disepakati antara Indonesia dan Belanda sebagai langkah awal penyelesaian secara damai. Sedangkan Australia yang sedang berada di bawah pemerintahan Partai Buruh mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia melalui aksi-aksi solidaritas sesama buruh dengan tidak melayani bongkar muat kapal Belanda yang sedang berada di pelabuhan Australia. Akan tetapi, perjanjian yang telah disepakati antara Belanda di Indonesia, kemudian dilanggar Belanda melalui agresi militer. Agresi militer yang dilakukan Belanda kemudian memicu Amerika Serikat untuk terlibat di dalam masalah Indonesia, karena diketahui peralatan militer yang digunakan Belanda berasal dari Amerika Serikat dan ini menunjukkan bahwa sebelumnya Amerika Serikat telah membantu pengkonsolidasian kekuatan militer Belanda.

Bab Tujuh Konflik Bersenjata, Komite Jasa Baik PBB, dan Perjanjian Renville: Keterlibatan AS dalam Pencarian Penyelesaian bagian ini membahas upaya diplomatik yang dilakukan Amerika Serikat dalam membantu pertikaian antara Indonesia dan Belanda. Keterlibatan Amerika Serikat penuh dengan intrik dan lebih memihak kepada Belanda, sehingga pandangan objektif terhadap Indonesia dikaburkan. Meskipun demikian Amerika Serikat berhasil mempertemukan Indonesia dan Belanda yang kemudian menimbulkan gejolak di dalam internal Indonesia yang nantinya menjadi awal dari perubahan sikap Washington terhadap Indonesia.

Bab Delapan Strategi Uni Soviet di Asia Tenggara dan Politik Indonesia: Simpang Siur Kebijakan Luar Negeri AS Selama 1948 membahas perubahan manuver politik Uni Soviet yang semula berfokus di Eropa, tetapi karena mengalami stagnasi kemudian dialihkan ke Asia Tenggara. Hal tersebut didasarkan pada kecurigaan Washington terhadap munculnya kelompok kiri yang merupakan akibat perundingan sebelumnya dan mencoba merebut kekuasaan. Melihat hal tersebut Washington tidak dapat berbuat banyak, karena dibuat bingung oleh pengaruh Belanda. Akan tetapi, ketika pimpinan Indonesia berhasil menumpas gerakan komunis di Madiun, Washington kemudian percaya bahwa Indonesia bukan komunis dan segera menemui para pemimpin Indonesia untuk menentukan langkah selanjutnya.

Bab Sembilan Menyelematkan Kaum Moderat Republik Indonesia dari Komunisme Uni Soviet: Washington Beralih Tegas Mendukung Kemerdekaan Indonesia bagian ini membahas perubahan sikap Washington terhadap Indonesia karena telah berhasil menumpas gerakan komunis tanpa bantuan Belanda. Washington kemudian memberikan bantuan yang diperlukan para pemimpin Indonesia untuk melanjutkan penumpasan komunisme dan mendiskusikan suatu rencana untuk menyelesaikan pertikaian dengan Belanda. Akan tetapi, Belanda telah mempersiapkan kekuatan militernya untuk kembali melakukan agresi militer dan hal ini pun terjadi, sehingga menyebabkan hilangnya dukungan Washington kepada Den Haag. Akibatnya Washington menekan dan mendorong Den Haag untuk menyelesaikan pertikaian dengan Indonesia secara damai. Intervensi Washington melalui utusannya kemudian menjadi jalan menuju pengakuan kedaulatan. Dengan demikian maka persoalan dekolonisasi telah selesai dan Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan.

Bagian terakhir merupakan EPILOG yang membahas peninjauan kembali para pemangku kebijakan luar negeri di Washington terhadap masalah dekolonisasi Indonesia. Amerika Serikat menyadari bahwa Belanda telah gagal dan dekolonisasi berakhir dengan pengakuan kedaulatan Indonesia. Melihat Sekutunya gagal, Washington mengatur kembali hubungannya dengan Den Haag dalam rangka kepentingan sebagai sekutu NATO sembari melihat potensi Indonesia sebagai calon sekutu yang dianggap dapat membendung komunisme dan menjadi banteng Barat di Asia Tenggara. Washington merasa perlu mendukung dan menjalin hubungan yang lebih erat dengan Jakarta terutama dalam hal ini pemerintahan Hatta. Akan tetapi, setelah pengakuan kedaulatan Indonesia justru Jakarta tidak lagi melakukan hal yang diharapkan Washington, karena Soekarno merasa perlu melibatkan kembali PKI ke dalam perpolitikan Indonesia di samping Washington tidak lagi memenuhi harapan-harapan Indonesia. Akibatnya, Washington dibuat kesulitan dalam membendung komunisme di Asia Tenggara mengingat terdapat kekuatan komunisme di Vietnam di bawah pimpinan Ho Ci Minh yang semakin merumitkan politik luar negeri Amerika Serikat dan berakhir dengan kegagalan membendung komunisme di wilayah tersebut. Meskipun Amerika Serikat gagal membantu Prancis di Indo Cina dan membuat keduanya keluar dari wilayah ini, tetapi Washington berhasil melakukan operasi intelijen dengan menginfiltrasi kekuatan komunis di Indonesia dan berhasil dengan hancurnya komunisme di Indonesia. Segala keterlibatan Amerika Serikat pada periode dekolonisasi pasti selalu bermotif Perang Dingin dan ini menjadi dasar dari kebijakan politik luar negeri para pemangku kebijakan di Washington pada saat itu.

5. Keunggulan Buku

Keunggulan buku ini adalah penyajian narasi yang detail, deskripsi yang jelas, dan analisis yang kuat berdasarkan sumber-sumber arsip serta pengalaman langsung para aktor yang terlibat dalam proses pengakuan kedaulatan Indonesia. Dengan begitu maka diperoleh pandangan yang komprehensif dan konteks yang tepat dalam memahami proses pengakuan kedaulatan Indonesia.

6. Kekurangan Buku

Kekurangan dari buku ini adalah diperlukan pengetahuan yang luas dan pemahaman yang kuat terhadap kronologi dan konteks sejarah bagi para pembaca, sehingga memudahkan pembaca dalam memahami isi buku ini.

7. Pengarang

Prof. Dr. Frances Gouda adalah Guru Besar Sejarah di Jurusan Ilmu Politik di Universitas Amsterdam, Belanda, sedangkan Dr. Thijs Brocades Zaalberg adalah peneliti di Lembaga Sejarah Militer Belanda di Den Haag, Belanda.

8. Penutup

Ide pokok dari buku ini adalah perubahan implementasi kebijakan politik luar negeri Washington terhadap Indonesia yang didasarkan pada pertimbangan dekolonisai dan Perang Dingin. Selama kepentingan Perang Dingin berpihak kepada Amerika Serikat maka Washington memberikan segala dukungan untuk mencapai tujuan tertentu.

Pusjarah TNI

Jl. Gatot Subroto Kav. 16

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *