Monumen Dwikora
Konfrontasi antara Indonesia dengan Persekutuan Tanah Melayu berawal dari niat Perdana Menteri (PM) Tengku Abdul Rahman yang dosokong penuh oleh Inggris untuk membentuk Federasi Malaysia yang wilayahnya meliputi Semenajung Malaka (Persekutuan Tanah Melayu dan Singapura) dan sebagian besar Kalimantan Utara (Serawak, Sabah dan Brunai) pada tanggal 16 September 1963. Niat pembentukan Federasi Malaysia itu ditentang oleh Presiden RI Soekarno. Indonesia berpendapat bahwa benbentukan Federasi Malaysia merupakan usaha kolonial dan Imperialisme baru di wilayah Asia Tenggara oleh karena itu bertentangan dengan politik Indonesia yang anti Kolonialisme dan Imperialsme serta bertentangan dengan prosedur PBB yang akan membahayakan perjuangan revolusi Indonesia. Tanggal 17 September 1963, Pemerintah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Persekutuan Tanah Melayu.
Konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia menemui jalan buntu di meja perundingan sehingga pihak Indonesia menempuh jalan kekerasan militer guna menggagalkan pembentukan Federasi Malaysia. Tanggal 3 Mei 1964, pada apel besar Sukarelawan, di Jakarta, Presiden RI Soekarno mencanangkan Operasi Dwi Komando Rakyat (DWIKORA) yang berisi: “Perhebat pertahanan Revolusi Indonesia dan Bantu perjuangan Revolusioner Rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak dan Brunai.
Selain mengerahkan para sukarelawan, Pemerintah Indonesia juga membentuk Komando Tugas dan Satuan Tugas Militer guna menggagalkan pembentukan Federasi Malaysia. Komando Tugas dan satgas yang dibentuk Indonesia antara lain: Komando Siaga (KOGA) yang merupakan komando gabunagn antar angkatan, Komando Mandala Siaga (KOLAGA) yang merupakan Komando Pelaksana Operasi-operasi Dwikora, Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah (PEPELRADA), Satgas-satgas Militer dan Komando Gayang Malaysia (KOGAM).
Pelaksanaan Operasi Dwikora dilaksanakan melalui tahap-tahap propaganda, infiltrasi, sabotse dan pembentukan kantong-kantong gerilya di wilayah perbatasan. Dalam tahap sabotase tiga orang anggota Korps Marinir TNI AL (KKO AL) yakni Sersan Dua KKO Djanatin alias Usman bin Haji Muhammad Ali, Kopral Satu KKO Tohir alias Harun bin Said dan Gani bin Arup berhasil meledakkan Gedung Mc Donald House pada tanggal 9 Maret 1965 pukul 03.07 dini hari. Dalam perjalanan kembali ke pangkalan aju dua dari tiga prajurit Korps Marinir itu tertangkap oleh musuh dan dijatuhi hukuman mati pada tanggal 17 Oktober 1968. Kedua Prajurit Korps Marinir itu kemudian dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia.
Konfrontasi dengan pihak Malaysia berakhir ketika terjadi perubahan peta politik di dalam negeri yakni terjadinya pergantian pucuk pimpinan nasional dari Soekarno kepada Soeharto. Tanggal 11 Agustus 1966 berhasil ditandatangani “Jakarta Accord” sebagai tanda berakhirnya konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia.