LAKSAMA MUDA YOSAPHAT SUDARSO (1925-1962)

A. Masa Kecil Hingga Remaja

Pemuda yang berperawakan kecil ini bernama Yosaphat Sudarso. Ia lahir pada 24 November 1925 di Salatiga, Jawa Tengah. Ia merupakan putra dari pasangan ibu Mariyam dan bapak Sukarno Darmoprawiro agen polisi yang tinggal di desa Sidorejo Lor. Yos Sudarso tercatat sebagai murid kebanggaan gurunnya di mana ia bersekolah. Otaknya cerdas, pembawaannya tenang dan penuh sopan santun. Pertama sekali ia memasuki sekolah pada Particuliere HIS Salatiga, yang berhasil diselesaikannya pada 1940 dan mendapat prestasi juara pertama. Setamat dari HIS orang tuanya sebenarnya menginginkan anaknya menjadi seorang guru. Namun keinginan orang tuanya tidak terkabul. Kemudian ia dimasukan ke MULO (SMP) di Semarang.

Pendidikannya di SMP Semarang hanya berlangsung selama lima bulan, karena kedatangan tentara Jepang. Dari SMP Semarang ia pindah ke Salatiga. Ia mendaftarkan diri pada Sekolah  Menengah Pertama Negeri dan selesai pada 1943. Rupanya minatnya lebih banyak tercurah pada bidang maritime. Pada tahun itu juga, ia masuk Sekolah Pelayaram Tinggi (SPT) bagian dek di Semarang. Di SPT ini hanya satu tahun saja. Ia lulus dengan angka terbaik pada 1944, dan ia dipekerjakan sebagai mualim pada kapal Gyo Osamu Butai.

B. Pengabdian dan Perjuangannya

1.  Memimpin ekspedisi Laut ke Maluku

Setelah Proklamasi Kemerdekaan dan dibentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut di Semarang, Yos Sudarso segera bergabung di dalamnya. Situasi telah berubah, para pemuda sibuk melakukan perebutan kekuasaan. Dalam perebutan kekuasaan dari tangan Jepang, ia bersama anggota BKR Laut Semarang lainnya berhasil menduduki komplek SPT di Karangtempel dan Purwodinatan,serta beberapa gedung di komplek pelabuhan Semarang. Lanjutan dari pada perebutan kekuasaan tersebut, pecah Pertempuran Lima Hari di Semarang pada 14-19 Oktober 1945. BKR Laut Semarang bertugas di front Jalan Bojong dan Komplek pelabuhan. Sesudah situasi reda, Yos bersama teman-temannya memindahkan pusat kegiatannya dari Semarang ke Tegal. Di Tegal ia melaksanakan tugas dan latihan-latihan. Yang paling ia senangi adalah tugas-tugas yang bersifat tantangan dan avonturisme. Ia memaksakan diri untuk ikut dalam suatu ekspedisi laut ke Indonesia bagian timur dan Maluku dan Yos dipercaya sebagai salah seorang yang pemimpinnya. Tujuan ekspedisi ialah untuk mengorbankan semangat proklamasi 17 Agustus di kepulauan Maluku. Ekspedisi berangkat dari pelabuhan Tegal pada 31 Maret 1946 dengan disaksikan oleh Staf Pimpinan ALRI pangkalan Tegal. Mereka menggunakan 2 buah kapal kayu tua, begitupun mesinnya. Yang pertama bernama kapal Semeru di bawah komando Moelyadi berlayar di depan disusul kapal kedua bernama Sindoro. Sindoro di bawah komandan Ibrahim Saleh dan Yos Sudarso sebagai perwira satu.

Rombongan ekspedisi menempuh jalur pelayaran yang dianggap aman, yaitu rute Utara melalui Kalimantan-Pulau Selayar-Maluku Selatan. Karena tuanya, kedua kapal tidak dapat berlayar dengan lancar. Hambatan kerusakan mesin pertama terjadi di Tanjung Punting, Kalimantan Selatan, sehingga keduanya terpaksa berlabuh di Tanjung Punting untuk memperbaiki mesin. Untuk kedua kalinya Sindoro mengalami kerusakan mesin di perairan Banjarmasin. Karena perairan Banjarmasin dinilai rawan, sering dilalui patroli Belanda, akhirnya diambil keputusan dan untuk segera menghindar dari daerah perairan ini. Sindoro segera ditarik oleh Semeru. Cobaan rupanya belum selesai, karena keadaan cuaca bertambah buruk, angin kencang serta gelombang besar. Kapal menjadi oleng dan tali pengikatnya putus. Meskipun Semeru tidak berdaya menolong, tetapi berkat keuletan para pelaut akhirnya dapat berlayar walaupun tidak dengan kekuatan penuh.

Ekspedisi berlabuh lagi di pulau Laut Kecil untuk menambah persediaan makanan dan minuman. Penduduk setempat ternyata menyambut hangat kedatangan saudara setanah airnya. Dengan sukarela rakyat memberikan bantuan yang diperlukan. Hambatan terjadi lagi karena ternyata kruk metal Sindoro pecah pada waktu akan meninggalkan pulau Laut Kecil. Awak kapal Sindoro dapat memperbaiki kerusakan ini dalam waktu tiga jam. Kerusakan kruk metal ini ini ternyata merupakan keuntungan bagi Sindoro, karena setelah rombongan ekspedisi keluar dari teluk tempat memperbaiki mesin, tampak sebuah kapal penjelajah Belanda, yakni Hr. Ms. Tromp baru saja meninggalkan perairan tersebut.

Pelayaran dilanjutkan dengan melintasi selat Makassar, sampai pulau Kayudi. Di pulau ini rombongan ekspedisi berhenti guna mendapatkan keterangan dari penduduk mengenai daerah yang akan dituju. Untuk kesekian kalinya rakyat ternyata memberikan sambutan hangat kepada rombongan ekspedisi. Pelayaran dilanjutkan ke pulau Binongko. Di pulau ini rombongan juga disambut hangat oleh penduduk, dan memberikan bantuan berupa bahan makanan serta keperluan lainnya.

perjalanan rombongan kemudian dilanjutkan dengan sasaran akhir kepulauan Maluku. Menjelang sampai ke pulau Buru rombongan ekspedisi dipecah menjadi dua: Sindoro menuju Namlea di pulau Buru, dan Semeru ke pulau Tambelau, untuk selanjutnya ke Halmahera. Di perairan Utara Buru, kembali Sindoro mengalami kerusakan mesin.

Persediaan pangan telah habis, sedang perbaikan mesin diduga akan memakan waktu cukup lama, Yos Sudarso segera mengambil inisiatif mendekati pulau Buru dengan menggunakan sebuah sekoci bersama dua orang anak buahnya. Jarak antara perairan Utara Buru dan pantai buru cukup jauh, lebih kurang 30 mil. Untuk mendayung agar sampai, ketiganya terpaksa memeras keringat.

Kepergian selama dua hari telah merisaukan anak buahnya yang menunggu di kapal, mulai timbul prasangka buruk, mengingat daerah perairan dan pantai Buru banyak ikan Hiunya. Para awak Sindoro menduga Yos Sudarso kena sergap patroli Belanda atau mungkin kena sergap ikan Hiu. Setelah 2 hari meninggalkan kapal akhirnya Yos kembali, kedatangannya disambut gembira dengan tembakan salvo oleh anak buahnya. Dari Pulau Buru ia berhasil membawa kebutuhan pangan alakadarnya. Sindoro yang telah selesai diperbaiki mesinnya kemudian berlayar menuju Namlea. Kedatangan rombongan ekspedisi disambut meriah oleh penduduk setempat. Mereka umumnya terharu menyaksikan bendera Merah Putih yang dipasang di buritan kapal. Pelayaran kemudian dilanjutkan menuju Piru, pulau Seram. Tanpa mereka duga sebelumnya, ternyata di Namlea setelah meletus pemberontakan yang digerakkan oleh para pemuda anggota ekspedisi. Karena peristiwa ini Belanda kemudian melipatgandakan kesiagaan penjagaan pantai.

Di Piru rupanya pasukan Belanda telah disiagakan. Rombongan ekspedisi Sindoro yang tidak mengetahui perubahan situasi begitu turun ke darat langsung menjadi sasaran empuk sergapan pihak lawan. Pimpinan kapal Ibrahim Saleh dan Yos Sudarso beserta anak buahnya ditawan oleh musuh. Selama setahun lebih Yos Sudarso berada dalam tahanan Belanda. Setelah keluar dari tahanan, ia segera melapor kepada pimpinan ALRI. Oleh pimpinan ALRI ia kemudian diperintahkan mengikuti pendidikan latihan Opsir ALRI di Kalibakung, Tegal. Pendidikan ini ditempuhnya selama tiga bulan, mulai bulan Mei sampai Juli 1947. Selesai mengikuti pendidikan Ia mendapat tugas baru di lingkungan Markas Besar Umum ALRI Yogyakarta. Jabatannya saat itu sebagai Perwira Staf Operasi III/Urusan Personalia. Adapun jabatan lain yang pernah dipangkunya setelah Perang Kemerdekaan berakhir ialah selaku Perwira Penghubung pada Central Joint Committee pada Kementerian Pertahanan Agustus 1949. Komite ini bertugas menyelesaikan masalah penarikan pasukan Belanda dari kota-kota yang kemudian digantikan oleh TNI. Di daerah-daerah dibentuk Local Joint Committee. Anggotanya terdiri dari para perwira TNI dan Belanda. 2 bulan setelah bertugas selaku perwira penghubung Central joint committe ia kemudian diperbantukan pada Staf angkatan perang di Yogyakarta.

2. Menumpas Pemberontakan Dalam Negeri

Karir lapangan dialami Yos Sudarso lagi ketika menumpas pemberontakan Andi Azis di Makassar. Dalam operasi yang dilancarkan kan oleh pemerintah dengan nama Gerakan Operasi Militer III (GOM III), ALRI bertugas melakukan blokade laut di perairan Makassar, mengangkut pasukan Angkatan Darat, serta melakukan bombardemen dari laut terhadap sasaran musuh di darat. Guna melaksanakan tugas-tugas tersebut Angkatan Laut mengerahkan berbagai jenis kapal yang dimilikinya, seperti kapal KRI Hang Tuah, KRI Banteng, LCT (Landing Craft Transport) serta sejumlah kapal angkut, diantaranya waikelo dan Bontekol. Letnan Yos Sudarso bertugas selaku perwira pada KRI Banteng. Kapal ini memberi perlindungan pendaratan pada Batalyon worang di Jeneponto. Pasukan Worang berada di kapal angkut waikelo dan Bontekol.

Pendaratan berlangsung pada tanggal 19 April 1950 ternyata tidak menemui perlawanan. Pada 21 April, Yos Sudarso bersama KRI Hangtuah dan KRI Banteng memasuki Makassar tanpa mendapat perlawanan. Pendaratan serentak diseluruh pantai Sulawesi Selatan dilaksanakan pada 26 April 1950 dengan menggunakan lima buah dari berbagai jenis kapal tempur Angkatan Darat yang membawa 3 brigade pasukan. Pengalaman tempur lain yang pernah diikutinya, yaitu pada waktu menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku Selatan. Masih pada kapal yang sama, bersama 8 kapal lainnya serta beberapa apa LST dan Landing Craft Machine (LCM) serta sejumlah kapal angkut dari KPM bertugas menumpas pemberontakan RMS di Maluku Selatan. Kapal-kapal ini adalah komando Eskader di bawah Komandan Mayor Pelaut Martadinata. Kapal yang ditumpangi Yos Sudarso bertugas memberikan lindungan tembakan bagi pasukan yang didaratkan atau membersihkan daerah pantai.

Selesai melakukan tugas Operasi Gom III dan IV yang berlangsung selama 8 bulan dari April-November 1950, ia kemudian diperintahkan mengikuti pendidikan pada Sekolah Angkatan Laut (SAL) di Surabaya. Selesai mengikuti pendidikan ini, sejak Juli 1952 ia ditugasi selaku perwira Pendidikan pada SAL ia kemudian diberi kesempatan mengikuti Pendidikan Anti Kapal Selam di Negeri Belanda. Sekembalinya, pada November 1953 diangkat selaku anggota Penguji Tetap Kursus Ulangan dan tambahan tingkatan Bintara (KUTB).

3. Jenjang Karier

Selanjutnya dia mendapat tugas baru selaku Komandan Kapal Perang KRI Alu-alu. Di samping jabatan itu kepadanya dilimpahkan pula jabatan selaku Komandan Divisi II Eskader Angkatan Laut sejak April 1954.

Pada akhir 1954, kembali tugas staf menantinya, karena ia ditugasi selaku Perwira Staf Operasi Markas Besar Angkatan Laut. Silih berganti tugas lapangan, staf dan pendidikan setelah dilaksanakannya. Penugasan mengikuti kursus ulangan dan tambahan tingkatan perwira dilaksanakan sejak Juli 1955.

Selesai mengikuti pendidikan, kemudian berbagai macam tugas diberikan kepadanya, yaitu selaku Perwira Pertama pada kapal peran KRI Gajah Mada sejak 1 Juli 1956. Ia kemudian juga diperbantukan pada pengawas pembuatan kapal ALRI di bawah pimpinan Mayor RE Martadinata di Italia. Selanjutnya berturut-turut adalah Hakim Pengadilan Tentara terhitung mulai 1 Agustus 1958 sampai dengan 30 Desember 1958, Komandan KRI Pattimura dengan pangkat mayor dari 30 Desember 1958 sampai 3 Agustus 1959.

Sementara itu dalam 1959 timbul reaksi tidak senang dikalangan para Perwira Muda terhadap kebijaksanaan yang ditempuh oleh pimpinan Angkatan Laut. Reaksi ini timbul karena pimpinan kurang memberikan kesempatan kepada tenaga muda mengembangkan keahliannya. Reaksi kelompok Perwira Muda ini sebenarnya beritikad baik, karena mereka ingin melihat mekanisme di lingkungan AL berjalan sesuai prinsip the right man on the right place. Pimpinan nasional ternyata dapat menerima alasan mereka, sehingga akhirnya pemerintah mengangkat Kolonel Martadinata menjadi KSAL baru. Sebagai KSAL, Martadinata kemudian segera menyiapkan personalia pembantu intinya. Guna mengisi lowongan jabatan deputy I sesuai dengan struktur yang ada, Martadinata tidak ragu-ragu lagi menunjuk Yos Sudarso sebagai pembantu utamanya. Pertimbangan penunjukan diri Yos Sudarso selain didasarkan pada pengalamannya juga karena sikapnya yang dinilai tegas dan korek.

Ia dilantik sebagai Deputy I KSAL pada 10 Oktober 1959. Promosi kenaikan pangkatnya menjadi letkol diperoleh empat hari setelah dilantik. Tindakan pertama selaku Deputi I KSAL ialah mengadakan tindakan penertiban ke dalam tubuh AL. Bidang keuangan dan logistik mendapat perhatian utama. Terhadap perwira yang dituduh tidak disiplin ia tidak segan-segan langsung menegurnya secara keras atau memberinya nasehat. Teguran keras kepada bawahannya tidak selalu diikuti dengan penindakan, karena ia berkeyakinan bahwa watak buruk seseorang dapat diperbaiki. Sebaliknya apabila sudah diberi nasehat, tetapi masih melakukan tindakan penyelewengan, maka ia tidak segan-segan menindaknya.

Kenaikan pangkat berikutnya menjadi Kolonel terhitung mulai 1 Januari 1960. Prestasi kerjanya yang baik menyebabkan ia memperoleh kenaikan pangkat dalam waktu singkat. Ternyata tidak hanya promosi kenaikan pangkat saja yang diperolehnya, tetapi Bintang Dharma disematkan pula padanya. Pada 10 Mei 1960, ia ditunjuk sebagai pejabat Men/KSAL. 16 bulan setelah kenaikan pangkat terakhir, terhitung mulai 17 April 1961 ia mendapat promosi kenaikan pangkat menjadi komodor (sekarang Laksamana Pertama)

4. Gugur Sebagai Pahlawan Nasional

Sementara itu pada Desember 1961 presiden menggumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora) dalam usaha membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda. Adanya perintah Trikora menyebabkan tugas ALRI bertambah besar. Patroli di daerah perbatasan ditingkatkan dan langsung berada di bawah komando Yos Sudarso. Pada 15 Januari 1962 ia mengadakan patroli ke daerah perbatasan, yaitu di Laut Aru dengan membawa 3 buah kapal jenis MTB, yaitu KRI Macan Tutul, KRI Macan Kumbang, dan KRI Harimau. Belanda rupanya segera mengetahui dan mengejar dengan sebuah kapal perusak destroyer. Kapal macan tutul yang ditumpangi dijadikan umpan, agar kedua kapal lainnya berhasil menyelamatkan diri. Yos Sudarso segera mengeluarkan perintah untuk bertempur kepada awak Macan Tutul. Karena kekuatan tidak seimbang antara  MTB dengan destroyer, akhirnya Macan Tutul tenggelam. Komodor Yos Sudarso beserta semua awak kapal yang ditumpanginya gugur sebagai pahlawan bangsa. Almarhum Yos Sudarso meninggalkan seorang istri yaitu Siti Mustini, dan 3 orang anak. Putranya yang kecil saat itu berusia 18 bulan.

Sebagai tanda penghargaan pemerintah atas jasa-jasanya, selain Bintang Dharma yang diterimanya, pangkat Komodor Yos Sudarso dinaikkan satu tingkat menjadi Laksmana Muda anumerta. Penghargaan tertinggi diberikan pemerintah berupa gelar pahlawan nasional pada 1973, dengan surat keputusan presiden RI No. 088/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973

Pusjarah TNI

Jl. Gatot Subroto Kav. 16

Leave a Reply

Your email address will not be published.