Resensi Buku : “Antara Sukarno dan Masjid Istiqlal”

Oleh: Drs. Agus Iswanto

  1. Judul Resensi : “Antara Sukarno dan Masjid Istiqlal”.
  2. Identitas Buku :

a. Judul Buku            : “Membaca Sukarno dari Jarak Paling Dekat”.

b. Pengarang             : Eddi Elison.

c. Penerbit                  : Imania.

d. Kota Penerbitan    : Tanggerang Selatan Banten.

e. Tahun Penerbitan : 2019.

f. Ketebalan               : 307 halaman.

g. Nomor  ISBN         : ISBN 978-602-7926-49-3

3. Pendahuluan

Penulis memilih buku ini, karena sesuai dengan judulnya, penulis ingin tahu lebih banyak dan dari jarak paling dekat berkaitan dengan Bapak Bangsa dan Proklamator. Selain itu, juga menjelaskan bahwa Presiden Sukarno adalah pencetus lokasi pembangunan “Masjid Istiqlal” yaitu di Taman Wilhelmina di depan Gereja Katedral. Sebagai suatu gagasan yang cemerlang jauh kemasa depan dalam usahanya membangun semangat toleransi, persaudaraan, keberagamaan, dan persatuan yang menjadi jiwa Bangsa Indonesia.

4. Isi Resensi.

Buku ini merupakan kumpulan 58 artikel dari pengarang yang mengupas tentang Sukarno. Sehubungan dengan itu, maka pada bagian isi resensi ini, penulis sajian hal-hal yang baru dan menarik untuk kita ketahui.

Sukarno menulis artikel di Majalah Oetoesan Hindia yang dikelola Tjokro Aminoto dengan nama samaran ”Bima”, salah satu tokoh Pandawa dalam pewayangan. Bima adalah seorang kesatria yang pantang menyerah, sangat jujur, sifat dan sikap non koperatif terhadap musuh-musuhnya.

Trio Dosen Ndesonya Bung Karno adalah Sarinah, Wagiman, dan Marhaen. Sarinah mengajarkan rasa cinta, rasa kasih atau kasih sayang mencintai orang kecil, nilai dan makna yang dikandung dalam tatanan kehidupan manusia. Wagiman mengajarkan cerita pewayangan mengandung kearifan, ajaran kebijakan, jiwa, nilai-nilai budaya, kesejarahan, dan makna serta keluhuran sebagai panutan hidup di dunia. Marhaen mengajarkan suatu penuntun kepada aksi, perbuatan, perjuangan sampai titik darah penghabisan dan tanpa kompromi. Marhaenis adalah pejuang, pembanting tulang, pemeras keringat untuk terjadinya dan terselenggaranya sosialisme serta bukan dengan aksi massa.

Profesornya Bung Karno di luar kampus adalah HOS Tjokro Aminoto dan Douwes Dekker atau Setiabudi.  Tjokro Aminoto mengubah jalan hidupnya, menanamkan wawasan kebangsaan, mendorong membentuk organisasi pemuda membangun Trikora Dharmo,  kemampuan berpidato yang dapat mempengaruhi massa rakyat. Setiabudi bagi Sukarno adalah orang Belanda yang sepenuh hati mencintai Indonesia dan siap menghadapi semua risiko dari Belanda atas sikapnya itu.

Bung Karno dipenjara Banceuy di Bandung dalam situasi dan kondisi: rambutnya dipotong pendek nyaris gundul, berpakaian penjara yang lusuh, penjaranya kumuh dan kotor, menempati ruang sel yang sempit seperti peti mati dengan lebar 1,5 meter serta berteman dengan cicak-cicak.

Pengarang mengusulkan, untuk meningkatkan marwah Monumen Nasional disingkat Monas, sebaiknya Pemerintah menghidupkan kembali jiwa keempat Patung Banteng Ketaton dengan mematoknya kembali di tempat semula. Patung Banteng Ketaton maknanya sebagai penjaga Monas yang menghadap empat penjuru mata angin: barat, timur, utara, dan selatan. Banteng-banteng tersebut bertanduk terhunus yang siap menyerang para pengacau. Banteng sebagai lambang semangat juang Bangsa Indonesia yang siap menentang usaha mengganggu NKRI (dilambangkan dengan Monas) yang datang segala penjuru.

5. Keunggulan Buku.

Menggunakan bahasa dan gaya yang sederhana, agar dapat ditangkap, dicerna dan dipahami oleh pembaca dari semua strata masyarakat dan komunitas.

Adanya pengakuan dari pengarang terhadap korban Pemberontakan G 30 S/PKI sebagai berikut: “Pada saat pementasan Wayang Kulit di Istana Negara, penonton yang selalu hadir adalah Mayjen S. Parman, salah satu korban Pemberontakan       G 30 S”.

6. Kekurangan Buku.

Kumpulan artikel dalam buku ini, tidak disajikan secara kronologis. Mengungkapkan predikat “Sukarno Sebagai Presiden Termiskin di Dunia”, karena Sukarno sering tidak punya uang alias kantong kempis disingkat tongpes. Menyebut nama pemberontakan yang didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI) tanggal 1 Oktober 1965 sebatas nama “G 30 S”, tidak dilengkapi tambahan PKI (G 30 S/PKI).

Pengarang ditunjuk oleh Kolonel Maulwi Saelan untuk menjadi Master of Ceremony disingkat MC dalam Rapat Raksasa MusyawarahTehnisi di Istora Senayan tanggal 30 September 1965. Dimana kita ketahui bahwa esok dini harinya tanggal 1 Oktober 1965 PKI melancarkan Pemberontakan G 30 S/PKI.

Banyak menceritakan tokoh-tokoh yang oleh kekuatan Orde Baru diklaim sebagai tokoh ekstrim kiri atau Soekarnoisme diantaranya yang tergabung dalam Penjaga Keamanan Presiden Resimen Cakrabirawa (Brigjen Sabur, Kolonel Maulwi Saelam, Letkol Ali Ebran, dan Letkol Tit Soeprapto), Komandan Detasemen Pengawal Pribadi (DKP) Kombes Pol Mangil dan beberapa menteri (Menpen Achmadi, dan Mentranskop Achadi), Wakil Perdana Menteri (Waperdam) III Chaerul Saleh, termasuk Teuku Markam, Td Pardede, dan Dasaad Moesin.

7. Pengarang.

Eddi Ellison lahir di Tebing Tinggi Sumatra Utara tanggal 13 Juni 1944. Pendidikan trakhir S-1 Fakultas Komunikasi Jurusan Jurnalistik. Mantan wartawan dan reporter Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang bertugas di Istana untuk meliput aktifitas Presiden Sukarno hampir selama empat tahun (1962 – 1966).

8. Penutup.

Intisari yang dituangkan dalam buku ini, adalah polah tingkah kegiatan Sukarno pada saat sebelum, ketika, dan selepas menjadi Presiden Republik Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari humanisme dan nasionalisme yang luar biasa.

Perilaku kemanusiaan Presiden Sukarno dapat dijadikan pedoman dan contoh dalam rangka pembelajaran yang efektif dan praktis bagi para pemimpin saat ini atau generasi milenial calon pemimpin masa depan.

Pusjarah TNI

Jl. Gatot Subroto Kav. 16

Leave a Reply

Your email address will not be published.