JENDERAL  BESAR TNI ABDUL HARIS NASUTION (1918-2000)

A.        Masa Kecil Hingga Remaja

Abdul Haris Nasution dilahirkan pada tanggal 3 Desember 1918 di Huta Pungkut, Kecamatan Kotanopan, Tapanuli Selatan, sebagai putera kedua H. Abdul Halim Nasution dan ibu Zahara Lubis. Pada tahun 1932, ia menyelesaikan pendidikannya di Hollandsche Inlandsche School (HIS), Kotanopan dan melanjutkan pendidikannya di Sekolah Raja Hoofden School, sekolah pamong praja, Bukit Tinggi. Pada tahun 1935, Abdul Haris Nasution melanjutkan pendidikannya di Hollandsche lnlandsche Kweekschool (HIK), Sekolah Guru Menengah di Bandung. Kemudian ia mengikuti ujian Algemene Middelbaare School B (AMS) di Jakarta, sehingga pada tahun1938 ia memperoleh dua ijazah sekaligus.

Setelah berhasil menyelesaikan pendidikannya, Abdul Haris Nasution yang dikenal dengan nama panggilan Pak Nas menjadi guru di Bengkulu dan Palembang. Rupanya pekerjaan sebagai guru kurang cocok dengan dirinya. Ia mulai tertarik pada bidang militer, dan kemudian mengikuti pendidikan Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO) KNIL atau Korps Pendidikan Perwira Cadangan di Bandung pada tahun 1940-1942.

B.        Perjuangan Di Bidang Militer.

 Riwayat Kepangkatan dan Jabatan.

Setelah menyelesaikan pendidikan militer, ia diangkat menjadi vaandrig (pembantu letnan calon perwira) dan ditempat­kan di Batalyon 3, Surabaya yang berkedudukan di Kebalen. Ketika pecah Perang Dunia II, Batalyon 3 mendapat tugas untuk mempertahankan pelabuhan Tanjung Perak.

Saat balatentara Jepang menduduki Hindia Belanda tahun 1942, Abdul Haris Nasution kembali ke Bandung. Selama penjajahan Jepang, ia menjadi pegawai Kotapraja di Bandung, dan menjadi pimpinan organisasi Seinendan sampai Jepang menyerah kepada Sekutu. Setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Abdul Haris Nasution aktif dalam kepemimpinan pemuda dan menjadi penasehat Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Bandung.

Pada tanggal 5 Oktober 1945 dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), didalam TKR ini Abdul Haris Nasution memulai karier dengan pangkat dan jabatan yang tinggi. Sejak tahun 1945 sampai tahun 1948 ia menyandang pangkat kolonel, dan menjabat sebagai Kepala Staf Komandemen TKR I/Jawa Barat. Sebagai Kepala Staf Komandemen Abdul Haris Nasution ditugasi menyusun organisasi dan administrasi. Ketika ia diangkat sebagai Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) pada tahun 1948, pangkatnya dinaikkan menjadi jenderal mayor dan menjabat sebagai Panglima Divisi III/TKR Priangan, yang kemudian menjadi Divisi I/Siliwangi. Akibat pelaksanaan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Rera) tahun 1948, pangkatnya diturunkan setingkat lebih rendah menjadi kolonel dan diberi jabatan Kepala Staf Operasi Markas Besar Tentara (MBT). Kemudian ia ditugaskan sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Djawa (PTTD). Seusai Perang Kemerdekaan, pada tanggal 10 Desember 1949 Abdul Haris Nasution diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) dengan Surat Penetapan Kementerian Pertahanan No. 126/MP/1949  tanggal 10 Desember 1949 dengan pangkat kolonel.

Pada tanggal 17 Oktober 1952, di Jakarta terjadi peristiwa demonstrasi massa yang menuntut pembubaran parlemen (DPR). Peristiwa yang kemudian dikenal dengan sebutan Peristiwa 17 Oktober 1952 ini merupakan puncak perbedaan pendapat antara Angkatan Darat dan DPR. DPR dianggap terlalu jauh mencampuri masalah intern Angkatan Darat, sehingga menimbulkan protes keras dari Angkatan Darat. Akibat peristiwa itu, Abdul Haris Nasution bersama beberapa perwira lainnya dibebaskan dari jabatannya. Selama masa nonaktif, ia aktif menulis buku dan mendirikan partai politik Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP­KI). Anggota-anggota IPKI sebagian besar terdiri dari perwira yang nonaktif akibat Peristiwa 17 Oktober 1952.

Setelah rekonsiliasi antar perwira yang pro dan kontra Peristiwa 17 Oktober 1952, Abdul Haris Nasution dicalonkan kembali menjadi KSAD. Pada tanggal 7 November 1955 Abdul Haris Nasution dilantik kembali menjadi KSAD, dan pangkatnya dinaikkan menjadi jenderal mayor. Ketika diumumkan negara dalam keadaan bahaya melalui Undang-Undang Keadaan Bahaya (UUKB) bulan Juli 1957, Abdul Haris Nasution di samping jabatannya sebagai KSAD, diangkat sebagai Ketua Gabungan Kepala-kepala Staf Angkatan Perang (GKS). Kemudian ia menjabat Penguasa Perang Pusat (Peperpu), yang membawahi Penguasa Perang Daerah (Peperda). Di samping menjabat Peperpu, Abdul Haris Nasution juga diangkat sebagai anggota ex-officio Dewan Nasional dan anggota Panitia Tujuh dalam rangka penyelesaian kemelut di daerah.

Sesudah reorganisasi Angkatan Darat pada tahun 1958,         Abdul Haris Nasution diangkat sebagai Menteri Keamanan Nasional/KSAD dengan pangkat letnan jenderal sampai saat Indonesia kembali ke UUD 1945 dan lahirnya Demokrasi Terpimpin. Pada masa Demokrasi Terpimpin sejak 1962 Abdul Haris Nasution diang­kat sebagai Menteri Koordinator (Menko) Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata dengan pangkat jenderal penuh (bintang empat). Pada awal Orde Baru, Abdul Haris Nasution dipilih sebagai Ketua Majelis Permusya­waratan Rakyat Sementara (MPRS).

Gagasan-Gagasannya Dalam Rangka Pembangunan TNI

  • Sebagai Konseptor Perang Gerilya

Pada masa Agresi Militer I Belanda, pasukan TNI menggunakan strategi linear. Begitu pula pasukan Siliwangi yang dipimpinnya, mereka menggunakan strategi dan taktik ini. Namun pada kenyataannya pertahanan linear yang digunakan oleh pasukan TNI, dengan mudah dapat diterobos oleh Belanda. Dari penerobosan pertahanan tersebut, pasukan kita tidak mundur, melainkan bergerak ke samping dan membentuk kantong-kantong perlawanan di daerah yang dikuasai lawan. Oleh karena itu dalam rangka perlawanan terhadap Belanda. Abdul Haris Nasution berpendapat, penyerbuan pasukan Belanda tidak mungkin ditahan, paling banyak hanya memperlambat dengan gangguan serta bumi hangus dan sebanyak mungkin mengungsikan pasukan-pasukan, alat-alat, dan rakyat ke kantong-kantong pedalaman. Untuk menghadapi perlawanan ini, maka diterapkan perang gerilya. Konsep perang gerilya bertujuan menegakkan de facto Republik Indonesia dalam arti militer dan sipil sebanyak mungkin di kantong-kantong. Taktik perang gerilya ini disusun Pak Nas karena menyadari jika tentara kita dengan persenjataan dan strategi yang konvensional, tidak akan mampu menghadapi Belanda. Untuk menghadapi serangan Belanda, perlu dibuat kantong-kantong gerilya. Dengan konsep tersebut maka dibentuklah Wehrkreise (daerah pertahanan) untuk menghadapi tentara Belanda yang lebih kuat persenjataannya.

Untuk merealisir pendapatnya tersebut, menurut Nasution diperlukan syarat-syarat, yaitu: membentuk pemerintahan militer gerilya sampai tingkat terendah di kelurahan/desa, melaksanakan politik nonkooperasi dan nonkontrak yang tegas, Serta me-wingate-kan atau menginfiltrasikan pasukan-pasukan ke daerah pendudukan Belanda di Jawa khususnya dan di daerah seberang umumnya.  Gagasannya tentang perang gerilya dituangkannya dalam buku Strategy of Guerilla Warfare. Karya ini menjadi buku wajib Akademi Militer di sejumlah negara.

Dalam rangka pelaksanaan Reorganisasi-Rasionalisasi (Rera) Abdul Haris Nasution diperintahkan oleh Menteri Pertahanan untuk memikirkan Rera pada tingkatan-tingkatan yang lebih rendah. Walaupun banyak mendapat tantangan Abdul Haris Nasution telah mendapatkan jaminan dari Panglima Besar bahwa pikiran yang disusun akan dipertahankan. Pokok-pokok pikiran yang disusunnya adalah untuk menghadapi kemungkinan pecahnya Agresi Militer II Belanda.

Selain sebagai konseptor perang gerilya, Pak Nas juga menyusun perang teritorial. Konsep perang teritorial ini sejak tahun 1960 resmi digunakan perang TNI AD sebagai doktrin pertahanan nasional. Konsep ini tidak hanya menyiapkan tentara berperang, namun juga melancarkan gerakan non militer untuk merebut hati dan pikiran rakyat. Doktrin perang teritorial terbukti sangat efektif membendung penyebaran politik PKI dan memadamkannya.

  • Konseptor Operasi Penumpasan PKI Madiun 1948

Sebelum konsep perang gerilya itu dilaksanakan, pada tanggal 18 September 1948 meletus Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun. Dalam rangka menumpas Pemberontakan PKI, Presiden Soekarno memerintahkan Abdul Haris Nasution membuat konsep operasi penumpasan. Sebagai Wakil Panglima Besar dan anggota Dewan Siasat Militer Abdul Haris Nasution dapat mengkonsepsikan dengan segera rencana pokok untuk menindak PKI, seperti yang diminta oleh Presiden. Konsep itu pada pokoknya menyelamatkan pemerintah, menindak pemberontakan dengan menangkap tokoh-tokohnya dan membubarkan organisasi pendukung atau simpatisannya. Konsep ini kemudian disampaikan kepada Presiden dan disetujui Presiden. Selanjutnya Abdul Haris Nasution melaporkan semua tindakannya kepada Panglima Besar Jenderal Soedirman. Untuk mengatasi pemberontakan Madiun kemudian diadakan Sidang Dewan Siasat Militer.

Sebagai Kepala Staf Operasi, Abdul Haris Nasution bertugas menyiapkan rencana-rencana operasi. Disamping itu dalam kedudukannya sebagai Panglima Siliwangi, Nasution memerintahkan brigade-brigadenya untuk bergerak ke arah Solo dan Semarang, serta melaku­kan serangan ke Madiun dari arah barat.

  • Memimpin MBKD Pada Masa Agresi Militer II Belanda.

Tidak berapa lama setelah Pemberontakan PKI di Madiun dapat ditumpas, kemudian Belanda melakukan Agresi Militer II pada tanggal 19 Desember 1948 dan ber­hasil merebut ibukota Republik Indonesia Yogyakarta. Jauh sebe­lum Agresi Militer II Belanda tersebut, Presiden telah mengeluar­kan Penetapan Presiden Nomor 14 tertanggal 14 Mei 1948, tentang reorganisasi APRI. Pada tanggal 28 Oktober 1948, Komando Djawa dan Komando Sumatera dibentuk. Kolonel Abdul Haris Nasution ditetapkan sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Djawa (PTTD). Markas Besar Komando Djawa itu membawahi 4 Divisi dan tiga Daerah Militer (Teritorium Militer). Setiap Panglima Divisi ditetapkan merangkap sebagai Gubernur Militer, kecuali Panglima Divisi IV /Siliwangi.

Ketika Yogyakarta diserbu oleh Belanda, Panglima Tentara Teritorium Djawa (PTTD) sedang mengadakan inspeksi ke Jawa Timur. Pada tanggal 19 Desember 1948 pagi Letnan Kolonel Kretarto, melaporkan kepada Kolonel Abdul Haris Nasution bahwa Belanda telah membombardir Wlingi, Kepanjen, Maospati, Tuban dan lapangan terbang Maguwo, Yogyakarta. Setelah menerima laporan itu Kolonel Abdul Haris Nasution bersama seluruh stafnya mengambil keputusan untuk segera kembali ke Yogyakarta. Dengan terburu-buru, pada pagi hari itu rombongan meninggalkan Jawa Timur dengan menggunakan Kereta Api Luar Biasa (KLB) menuju Yogyakarta. Selama dalam perjalanan, di setiap stasiun Abdul Haris Nasution mendapat laporan mengenai situasi terakhir Yogyakarta yang telah jatuh ke tangan musuh. Beliau mendapat saran-saran dari para komandan setempat agar PTTD membatalkan niatnya untuk kembali ke daerah yang sudah diduduki musuh dan supaya tetap memimpin gerilya di daerahnya. Akan tetapi PTTD bersikeras meneruskan perjalanan. Akhirnya setelah perjalanan terhenti beberapa kali karena selalu dibayangi oleh pesawat-pesawat Belanda, pada pukul 16.00 rombongan tiba di stasiun Srowot di daerah Prambanan.

Setelah diketahuinya dengan jelas bahwa musuh telah menguasai Maguwo, Abdul Haris Nasution memerintahkan kepada seluruh rombongan menuju arah utara ke lereng Gunung Merapi. Dari sana, dimulailah perjalanan gerilya ke beberapa tempat lainnya. Selama menduduki jabatannya sebagai Panglima Komando Djawa, AH. Nasution menyusun hampir semua instruksi dan perintah kepada para Komandan Divisi dan Brigade. Hanya untuk hal-hal yang khusus seperti logistik, ia dibantu oleh Mayor Rudy Pirngadi, dan soal kesehatan dibantu oleh Kolonel drg. Mustopo. Instruksi yang diberikannya sewaktu menjabat sebagai Panglima Tentara Teritorium Djawa antara lain meliputi seluruh aspek perjuangan gerilya dalam mempertahankan kemerdekaan mulai dari taktik tempur, menghindari agitasi, perhubungan, nonkooperasi, kekacauan, kabar bohong, pembentukan pagar desa, dan kesehatan. Dengan instruksi-instruksinya itu tiap komandan di daerah mempunyai pegangan yang pasti untuk melanjutkan perjuangan melawan Belanda, sehingga kesatuan-kesatuan dibawahnya merasa tetap mempunyai pemimpin dan tidak berjuang sendiri.

Selama berlangsungnya Agresi Militer II Belanda, AH. Nasution menggagas pembentukan Pemerintahan Militer serta perangkat pemerintahannya yang terdiri dari pemerintahan, pengadilan, dan badan administrasi negara yang digagasnya akhirnya terbentuk di daerah-daerah basis gerilya. Dalam pemerintahan militer ini disusun pedoman kerja yang terdiri dan pertahanan de facto militer, pertahanan de facto pemerintahan, dan pelaksanaan kesejahteraan rakyat. Untuk pelaksanaan pertahanan militer, pemerintahan militer mempunyai pasukan yang mobil dan teritorial atau gerilya desa khususnya dan seluruh rakyat umumnya. Keadaan mobilisasi umum memberi hak kepada pemerintahan militer untuk mengerahkan semua tenaga. Selanjutnya untuk pertahanan de facto pemerintahan dijalankan oleh kepala daerah (residen, bupati dan camat otonomi) atas nama dan  di bawah perintah taktis kepala pemerintahan militer.

Sementara ­itu, berhubung jatuhnya ibukota Yogyakarta, maka Pemerintahan Darurat dan Pemerintahan Pengasingan didirikan di Bukit Tinggi. Hubungan dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan wakil-wakil RI di India terus dilakukan oleh MBKD melalui Radio Republik Indonesia (RRI). Melalui hubungan ini, pemerintah Belanda tidak mampu menghapuskan keberadaan Negara RI dengan TNI nya yang tetap berdiri meskipun dalam ancaman agresi militer mereka.

  • Pemerkasa Politik “Kembali Ke UUD 1945”

Pada tahun 1950-an terjadi pergolakan di seluruh wilayah Republik Indonesia, seperti pemberontakan DI/TII, APRA, RMS, Andi Azis, dan PRRI/Permesta. Untuk menghadapi berbagai pemberontakan tersebut, Abdul Haris Nasution sebagai KSAD memprakarsai politik keamanan “Kembali ke Pangkuan Republik dan Kembali ke UUD 1945”.

UsuI KSAD itu kemudian disetujui oleh Presiden Soekarno, dan pada hari Minggu tanggal 5 Juli 1959 Presiden mengeluarkan “Dekrit Kembali ke UUD 1945”. Sebelumnya pada tahun 1951 ia berhasil memprakarsai berdirinya Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD) di Cililitan, Jakarta yang kemudian dipindahkan ke Bandung.

  • Perumus Konsepsi Jalan Tengah

Konsepsi Jalan Tengah, adalah pidato Abdul Haris Nasution yang disampaikan pada Dies Natalis Akademi Militer Nasional di Magelang pada bulan November 1958. Sebenarnya konsepsi ini merupakan penjelasan Konsepsi Presiden Soekarno, yang disusun pada Februari 1957. Dalam Konsepsi Presiden itu, Angkatan Bersenjata dikelompokkan dalam golongan fungsional. Namun belum ada penjelasan khusus di dalam pelaksanaannya. Inti gagasan Abdul Haris Nasution adalah, bahwa tentara sebagai salah satu diantara kekuatan yang menentukan nasib bangsa tidak akan mengambil alih kekuasaan, tetapi akan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan pada semua tingkatan. Dalam pandangannya, tentara atau TNI adalah satu dari kekuatan rakyat Indonesia yang bahu membahu dengan kekuatan-kekuatan lainnya. Konsepsi Jalan Tengah inilah yang menjadi konsep dasr Dwifungsi ABRI, yang memuat peran dan fungsi ganda TNI, sebagai kekuatan sosial politik dan kekuatan pertahanan keamanan dalam tata kehidupan kenegaraan di Indonesia.

Sejalan dengan konsepsi dasar tersebut, terutama dalam situasi rivalitas yang tajam dengan PKI, TNI-AD mengambil beberapa langkah kebijaksanaan internal, guna menjawab setiap manuver dan intrik PKI. Caranya ialah dengan menempatkan personil­-personil TNI untuk duduk dalam lembaga-lembaga eksekutif maupun legislatif baik di tingkat pusat dan daerah. Hal itu mengundang reaksi yang cukup keras, terutama dari pihak PKI. Salah seorang tokoh PKI yaitu M.H. Loekman mendesak agar ABRI kembali saja ke barak.

Menghadapi reaksi tersebut, KSAD Abdul Haris Nasution menjawab bahwa keterlibatan ABRI dalam hal ini TNI-AD, memiliki dasar hukum yang sah yaitu UUD 1945. TNI-AD selaku golongan fungsional mempunyai hak dan kewajiban untuk ikut secara aktif dalam masalah-masalah politik kenegaraan.


Perannya Dalam Rangka Pembebasan Irian Barat

Abdul Haris Nasution berperan dalam perjuangan Pembebasan Irian Barat baik tingkat politik maupun militer. Langkah awalnya adalah menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Langkah selanjutnya meningkatkan aktivitas perjuangan ke dalam maupun ke luar negeri. Di dalam negeri dibentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) pada tanggal 4 Januari 1958, yang meliputi unsur-unsur organisasi masyarakat, seperti buruh, tani, wanita, pemuda, dan militer. FNPIB dipimpin oleh KSAD Letnan Jenderal Abdul Haris Nasution yang kemudian dikukuhkan melalui keputusan Penguasa Perang Pusat No. KPTS/PEPERPU/013/1958. Organisasi FNPIB, meliputi tingkat pusat sampai ke daerah, bertugas menggalang kekuatan massa.

Sementara itu kenyataan­-kenyataan yang dihadapi di bidang diplomasi memaksa Indonesia untuk lebih meningkatkan usahanya pada pembangunan potensi ofensif ABRI. Pada 1961 selaku KSAD, ia memerintahkan Deputy II KSAD, Brigjen Soeharto untuk mem­bentuk pasukan Cadangan Umum Angkatan Darat (Caduad) yang berkekuatan satu Tentara (Army). Di samping itu, ia juga memimpin misi pembelian senjata ke Amerika Serikat dan negara-negara blok Timur. Misi pembelian senjata ini kemudian dikenal dengan Misi Abdul Haris Nasution. Misi ini juga melakukan kunjungan ke negara-negara Jerman, Inggris, Perancis, dan Yugoslavia. Kemudian dilanjutkan ke Australia, Selandia Baru, Philipina, Thailand, India, dan Mesir. Kontrak pembelian senjata dari Uni Soviet merupakan kontrak pembelian senjata yang terbesar, yang dilakukan oleh misi Nasution dalam rangka Operasi Pembebasan Irian Barat.

Pada tanggal 11 Desember 1961, dua bulan setelah Komite Nasional Papua dibentuk, Pemerintah membentuk Dewan Pertahanan Nasional (Depertan). Jenderal Abdul Haris Nasution diangkat sebagai Deputy II. Di samping itu ia diangkat menjadi Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi (KOTI) Pembebasan Irian Barat (Pemirbar). Setahun kemudian, pada tahun 1962 Abdul Haris Nasution selaku Menteri Keamanan Nasional/KSAD juga mengirimkan misi khusus ke luar negeri, dalam upaya menyelesaikan masalah Irian Barat ini Ia juga mengadakan pembicaraan dengan Ketua Partai Katolik Indonesia I.J .Kasimo, dan meminta pimpinan Partai Katolik menghubungi pimpinan Partai Katolik Belanda (KVP) agar dapat mempengaruhi Pemerintah Belanda dalam menyelesaikan masalah Irian Barat tersebut.


Menghadapi Ofensif PKI

Sesudah reorganisasi ABRI tahun 1962, Abdul Haris Nasution menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan (Menko Hankam) merangkap sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KASAB). Dalam rangka menghadapi ofensif PKI di bidang politik, Jenderal Abdul Haris Nasution memprakarsai berdirinya Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), yang terdiri atas Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI), Koperasi Gotong Royong (Kosgoro), dan Musyawa­rah Kerukunan Gotong Royong (MKGR). Sementara itu sebagai Wakil Ketua Pengurus Besar Front Nasional (PBFN), Jenderal Abdul Haris Nasution memberi restu di­ubahnya ide pembentukan satu organisasi tunggal Musyawarah Kekaryaan Indonesia (MKI) menjadi satu forum koordinasi bernama Musyawarah Kerja Karyawan Indo­nesia (MKKI).

Sementara itu, masih dalam menghadapi ofensif revolusioner PKI, Abdul Haris Nasution menolak gagasan-gagasan yang diajukan oleh PKI di pelbagai bidang, antara lain di bidang pers, budaya, teritorial, dan militer. Di bidang pers, Abdul Haris Nasution memerintahkan pembentukan Pemberitaan Angkatan Bersenjata (PAB) dan Harian Angkatan Bersenjata (HAB), Berita Yudha beserta edisi daerahnya. Selain itu di lingkungan Staf Angkatan Bersenjata (SAB), dibentuk Biro Sejarah yang kemudian berkembang menjadi Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI atau kini bernama Pusat Sejarah TNI. Dibidang budaya berlangsung Konferensi Karyawan Pengarang Seluruh Indonesia (KKPI). Di bidang Pertahanan-Keamanan, Jenderal Abdul Haris Nasution dengan tegas menolak Nasakomisasi ABRI yang ingin diterapkan PKI. Selain itu, ia juga memprakarsai pembentukan organisasi Pertahanan Sipil (Hansip), Pertahanan Rakyat (Hanra) dan Resimen Mahasiswa di setiap Universitas dalam upaya menangkis ofensif PKI di bidang teritorial. Di bidang militer, Pak Nas menolak pembentukan Angkatan V dengan mempersenjatai buruh dan tani. Pada tanggal 20 Mei 1965 atas prakarsa Abdul Haris Nasution diresmikan berdirinya pendidikan tertinggi di lingkungan Angkatan Bersenjata yang dikenal dengan nama Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas) di Jakarta. Siswanya terdiri dari para perwira menengah ABRI.

 

C.       Setelah Masa Dinas Aktif

Pada tahun 1966, Abdul Haris Nasution sebagai senior ABRI, dilantik menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Pada saat menjabat sebagai Ketua MPRS, untuk pertama kali Lembaga Tertinggi Negara itu menolak pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang dikenal dengan nama Nawaksara. Dalam sidang MPRS di bawah pimpinannya, Jenderal Soeharto dilantik menjadi Pejabat Presiden, yang kemudian menjadi Presiden pada tahun 1968.

Sejak tahun 1968, setelah berakhimya Sidang Umum V MPRS, Abdul Haris Nasution secara resmi berada di luar tugas-tugas resmi jabatan pemerintahan Republik Indonesia, dan ia pensiun dari dinas aktif TNI-AD pada tahun 1972 dalam usia 53 tahun. Selanjutnya setelah menjalani masa pensiun, ia aktif menulis buku­-buku perjuangan, seperti saat ia masih dinas aktif sebagai prajurit TNI. Buku-bukunya yang terkenal, antara lain Pokok-pokok Gerilya, Tentara Nasional Indonesia, Sekitar Perang Kemerdekaan dan Memenuhi Panggilan Tugas.

 

D.        Penghargaan dan Tanda Jasa

Karena kemampuannya yang luar biasa dalam bidang militer dan politik, Abdul Haris Nasution mendapat penghargaan dari beberapa universitas. Gelar Doktor Honoris Causa diterimanya dari Universitas Pajajaran, Universitas Islam Sumatera Utara dan dari Philipina ia mendapat gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang Politik Ketatanegaraan. Selain dari civitas akademik, Jenderal Abdul Haris Nasution menerima berbagai penghargaan berupa bintang tanda penghormatan baik dari dalam maupun luar negeri seperti dari kerajaan Muangthai, Yugoslavia, Republik Persatuan Arab, Philipina, republik Federasi Jerman, Ethiopia dan Belanda.

Bintang-bintang dan tanda kehormatan dari Negara Republik Indonesia itu, antara lain:Bintang Republik Indonesia Klas III dan II, Bintang Maha Putera Klas II, Bintang Sakti, Bintang Darma, Bintang Gerilya, Bintang Sewindu, Satyalencana Kesetiaan, Satyalencana Jasa-Darma Angkatan Laut, Satyalencana Aksi Militer I, Satyalencana Aksi Militer II, Satyalencana Gerakan Operasi Militer I, Satyalencana Gerakan Operasi Militer II, Satyalencana Gerakan Operasi Militer III, Satyalencana Gerakan Operasi Militer IV, Satyalencana Kemerdekaan, Satyalencana Satya Darma, Satyalencana Dharma Pembebasan irian Barat, Satyalencana Dharma Dwikora, dan Satyalencana Penegak (Operasi Penumpasan G.30.S/PKI)

Sedangkan Bintang-bintang tanda kehormatan dari Negara-negara Asing, antara lain: Bintang Gajah Putih dari Kerajaan Muangthai, Bintang Bendera Yugoslavia Klas I, Bintang Republik tertinggi dari Republik Persatuan Arab (RPA)    (Grand Gordon of the Order of the U.A.R), Bintang Militer Klas I Yugolasvia, Bintang Kehormatan dari Presiden Philipina (1963), Bintang Jasa dari Republik Federasi Jerman (1963), Bintang Datu Sikatema dari Philipina (1967), Bintang Tertinggi Trimurti dari Ethiopia (1968), dan Grootkruis Oranye Nassau dari Negeri Belanda.

Selain itu, dari berbagai kesatuan dan Lembaga Pendidikan, ia memperoleh lencana-lencana kehormatan, baik dari dalam maupun luar negeri, seperti Korps Kapal Selam Angkatan Laut Republik Indonesia, Korps Kapal Selam Amerika Serikat, Korps Kapal Selam Uni Soviet, Sekolah Artileri dan Missile di Amerika, Frunze Akademi Uni Soviet, Divisi I Jerman, Korps Berlapis Baja Jerman, Akademi Angkatan Udara Republik Persatuan Arab (Mesir-Suriah), Korps Kavaleri TNI-Angkatan Darat, dan lain-lain.

 

E.        Menerima Pangkat Kehormatan Jenderal Besar TNI

Sesuai dengan jasa-jasanya yang luar biasa, Abdul Haris Nasution tidak saja terkenal sebagai ahli pikir di bidang militer, tetapi juga pemimpin militer dan bangsa yang sangat berjasa. Karenanya Pemerintah RI menganggap layak menganugerahi pangkat kehormatan Jenderal Besar TNI kepada Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution.

Penganugerahan pangkat Jenderal Besar TNI kehormatan kepada Abdul Haris Nasution dituangkan dalam Keppres No.46/ABRI/1997, tanggal 30 September 1997. Setelah tiga tahun penganugerahan sebagai Jenderal Besar TNI, Pak Nas wafat di Jakarta pada tanggal 6 September 2000 karena sakit. Dari pernikahannya dengan Ibu Yohana Soenarti putri dari R.P. Gondokoesoemo, Jenderal Bintang Lima ini dikaruniai dua orang putri yaitu Hendrianti Zaharah dan Ade Irma Suryani. Ade Irma Suryani wafat dalam usia yang masih sangat muda 5 tahun. Ia gugur sebagai perisai ayahandanya dalam peristiwa G.30.S/PKI tahun 1965. Selain mendapat pangkat kehormatan Jenderal Besar TNI, Pemerintah RI juga menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional untuk Jenderal Abdul Haris Nasution melalui Surat Keputusan Presiden No.073/TK/Tahun 2002, tanggal 6 Nopember 2002.

 

Sumber :
Pusat Sejarah TNI, Biografi Pahlawan Nasional Dari Lingkungan TNI, CV. Tapasuma Ratu Agung, Jakarta, 2014

Pusjarah TNI

Jl. Gatot Subroto Kav. 16

Leave a Reply

Your email address will not be published.