Jenderal Ahmad Yani

JENDERAL AHMAD YANI
( 1922 – 1965 )

 

A.        MASA KECIL HINGGA REMAJA
Pemuda dari Bagelen (Purworejo)

Ahmad Yani dilahirkan di Jenar, Purworejo, pada tanggal 19 Juni 1922, sebagai putra tertua dari Sarjo bin Suharyo dan isterinya Murtini. Sarjo kemudian lebih dikenal dengan nama M. Wongsorejo. Ahmad mempunyai dua orang adik, Asmi dan Asina.

Sejak kecil sudah terlihat bahwa Yani senang bermain perang-perangan dan mobil-mobilan. Ia menjadi pemimpin dari kelompok anak-anak di kampungnya. Pada suatu ketika di kampungnya terjadi suatu peristiwa. Seekor kerbau mengamuk, dan menyerang setiap orang yang ditemuinya di jalan. Semuanya berlari-larian mencari tempat persembunyian. Seorang anak kecil, dengan ketenangan yang mengagumkan, memanjat sebuah pohon. Dari pohon itu ia memberi “komando” kepada beberapa orang yang berusaha menangkap kerbau itu. Entah kekuatan apa yang dimilikinya, namun perintah-perintah­nya diikuti oleh orang-orang tersebut. Akhirnya binatang liar itu berhasil ditangkap. Ketenangan Ahmad yang diperlihatkannya dalam peristiwa kerbau liar di atas, menarik perhatian Hulstyn, seorang Belanda majikan ayahnya. Ahmad diambil dan kemudian diasuhnya. Oleh Hulstyn nama Ahmad kemu­din ditambah dengan Yani, sehingga ia lebih terkenal dengan nama Ahmad Yani. Watak seseorang, sifat-sifat dan tindak tanduknya, seringkali dipenga­ruhi oleh lingkungan tempat tinggal atau daerah tempat kelahirannya. Begitu pula halnya dengan Yani. Di dataran rendah Bagelen di daerah Kedu, daerah tempat Yani dilahirkan tumbuh subur mitos kepahlawanan yang diwariskan dari masa perjuangan Pangeran Diponegoro. Daerah ini cukup lama ditempati oleh Diponegoro dan pasukannya. Di daerah ini pula Pangeran itu berhasil melancarkan serangan gerilya terhadap Belanda. Kisah-kisah kepahlawanan itu diceritakan oleh orang tua kepada anak-anak mereka. Cerita itu diterima pula oleh Ahmad Yani dan ternyata mempengaruhi wataknya.

Atas usaha Hulstyn dalam tahun 1928, ia dimasukkan ke HIS (Hollandsch lnlandsche School) di Purworejo. Pendidikan di sekolah ini ditempuh­nya di tiga tempat. Kelas III HIS diikutinya di Magelang, dan sejak kelas IV sampai tamat, ia mengikutinya di Bogor.

Di sekolah Yani bukan hanya tergolong murid yang pintar tetapi juga disegani oleh teman-temannya. Tenang, pendiam dan tidak suka dipuji, menyebabkan anak-anak yang sebaya dengannya menaruh hormat yang besar. Hampir-hampir tidak ada yang berani mengganggunya, karena mereka tahu bahwa Yani pasti berani menjawab setiap tantangan yang diberikan kepadanya. Sekalipun kota Purworejo terkenal sebagai kota militer yang penuh dengan anak-anak “kolong”, namun anak-anak ini pun harus berpikir dua kali sebelum berani menganggu Yani.

Setelah menamatkan HIS dalam tahun 1935, Yani meneruskan pendi­dikannya ke MULO bagian B di Bogor. Pendidikan di sekolah ini ditempuh­nya sampai ia tamat dalam tahun 1938. Dewi fortuna tetap mengikutinya, sehingga di sekolah ini ia termasuk tiga terbaik. Prestasi itu memungkinkan­nya melanjutkan pelajaran ke AMS (Algemeene Middelbare School) bagian B di Jakarta. Ada suatu peristiwa yang menarik sewaktu Ahmad Yani sekolah di MULO. Suatu hari dalam tahun 1938, ia berkunjung ke tempat ayahnya bekerja. Ia tiba dalam suasana yang kurang baik. Siayah sedang dimarahi dan dimaki-maki secara kasar oleh atasannya, seorang Belanda. Makian yang dilontarkan itu cukup pedas untuk telinga anak tersebut. Dengan mengguna­kan bahasa Belanda yang fasih, ia membalas menyerang berupa makian pula. Si Belanda yang menganggap dirinya “yang dipertuan” dan kata-katanya, tidak boleh dibantah, menjadi naik pitam. Anak kecil itu dipukulnya. Di luar dugaan, anak itu melawan. Pergumulan yang tidak seimbang pun terjadi. Lopias, seorang Kopral KNIL suku Ambon yang berdiri tidak jauh dari tem­pat peristiwa itu terjadi, tidak sampai hati melihat perlakuan Belanda ter­hadap anak tersebut. Ia ikut mencampuri pergumulan itu dan sebuah tiju yang cukup keras dilayangkannya ke kepala si Belanda. Orang yang dipukul itu terjatuh. Akan tetapi persoalannya tidak berakhir sampai di situ. Seminggu kemudian Lopias menerima surat dari atasannya. Pangkatnya diturunkan, karena berani memukul seorang Belanda.

 

Memasuki Pendidikan Militer

Mungkin Yani akan mengikuti pendidikan yang lebih tinggi, jika Perang Dunia II tidak pecah di Eropah. Dalam bulan Mei 1940 Negeri Belanda didu­duki Jerman. Pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi untuk meng­hadapi kemungkinan menjalarnya perang ke Indonesia. Dalam tahun 1940 itu Yani meninggalkan AMS dan mendaftarkan diri sebagai aspirant pada Dinas Topografi Millter.

Pendidikan millter ditempuhnya di Malang selama enam bulan. Perte­ngahan tahun 1941 Sersan Cadangan Bagian Topografi Ahmad Yani ditugas­kan di Bandung. Atasannya melihat bahwa dalam diri bintara ini terdapat bakat millter yang cukup besar.Karena itu pada akhir tahun 1941 ia dikirim ke Bogor mengikuti pendidikan militer secara intensif. Setelah selesai, ia di­kembalikan ke Bandung.

Sementara itu, Pemerintah Hindia Belanda mengumumkan perang ter­hadap Jepang. Ternyata Angkatan Perang Belanda tidak cukup kuat. untuk menahan serangan pasukan Jepang dalam pertempuran di Ciater, Lembang, Sersan Ahmad Yani ikut serta. Waktu kota Bandung jatuh ke tangan Jepang, Yani ditawan. Selama beberapa bulan ia ditempatkan dalam kamp tawanan di Cimahi. Setelah melalui beberapakali pemeriksaan, ja dibebaskan. Yani kembali ke kampung halamannya.

Selama tahun 1942 Yani menganggur. Tetapi pada awal tahun 1943 ia mendaftarkan diri untuk menjadi juru bahasa (Cuyaku}. Dari beberapa test yang diikutinya, seorang perwira Jepang, Obata, melihat bahwa dalam diri pemuda ini tersimpan bakat militer yang tinggi. Atas dasar itu Obata meng­usulkan supaya Yani menjadi militer penuh. Saran itu diterima dan Yani mengikuti pendidikan militer untuk heiho di kota Magelang. Bagi Yani yang sudah pernah menempuh pendidikan militer di zaman Belanda, pendidikan Heiho itu tidak terasa berat. Tidak heran kalau ia lulus dengan hasil gemilang. Dan dengan modal itu ia dikirim ke Bogor untuk mengikuti pendidikan Syodanco pada Boei Giyugun Kambu Renseitai.

Sebelum berangkat ke Bogor, Yani mengisi waktunya dengan belajar mengetik di sebuah sekolah mengetik diPurworejo. Sekolah itu ternyata meninggalkan kenangan indah baginya. Di situ ia berkenalan dengan Bandiah Yayu Rulia, ibu guru muda yang masih single. Perkenalan itu menumbuhkan cinta dan kedua remaja itu berjanji kelak akan membangun sebuah rumah­tangga.

Selama empat bulan di Bogor, Yani mengalami pendidikan yang cukup berat. Jiwa militernya mengalami tempaan yang sesungguhnya. Prestasi yang dicapainya menyebabkan para pelatihnya, antara lain Kapten Yanagawa, menaruh perhatian khusus kepadanya. Sewaktu diadakan upacara penutupan pendidikan, Yani dinyatakan lulus sebagai siswa terbaik. Lebih dari itu ia juga mendapat penghargaan berupa sebilah pedang samurai berbentuk istimewa yang dihadiahkan kepadanya.

Dari Bogor ia dikembalikan ke Magelang. Mulai bulan Januari 1944 ia menjalani dinas aktif sebagai Komandan Dai lci Syodan Dai San Cudan dari Dai Ni Daidan (Komandan Seksi I Kompi III Batalyon II). Pada tanggal 5 Desember 1944, ia melangsungkan pernikahannya dengan Bandiah, yang dulu menjadi guru mengetiknya. Dari perkawinan ini kelak mereka dianu­gerahi delapan orang anak.

 

B.        PERJUANGAN DAN PENGABDIAN
 Perjuangan Pada Masa Perang Kemerdekaan

Sebagai komandan seksi ia cukup disegani oleh anak buahnya. Pasukan­nya selalu memperlihatkan prestasi yang baik dalam latihan perang-perangan yang diadakan. Karena itu nama pasukan ini menjadi terkenal. la tetap ber­ada di Magelang ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Dua hari setelah proklamasi itu, Jepang membubarkan Peta dan semua organisasi kemi­literan. Alasannya untuk mencegah kesatuan-kesatuan itu membalikkan sen­jata terhadap Jepang sendiri. Kesatuan Yani bubar. Anak-anak buahnya sebagian pulang kekampung masing-masing. Yani berusaha mengumpulkan kembali anak buahnya yang sudah ceraiberai itu sambil mencari tenaga tam­bahan. Akhimya ia berhasil mengumpulkan tenaga sebesar satu batalyon. Dengan kekuatan yang ada itu ia memberikan jasa pertamanya dalam mempertahankan negara.

Peristiwa pertama tercatat ketika Kesatuan Yani pada tanggal 24 Sep­tember 1945 turut aktif mengambil bagian dalam peristiwa Tidar. Beberapa orang pemuda Indonesia mengibarkan bendera Merah Putih di puncak bukit kecil itu. Bendera itu kemudian diturunkan oleh Jepang yang menyebabkan timbulnya bentrokan fisik. Sehari kemudian pasukan Yani turut pula dalam pelucutan senjata terhadap Nakamura Butai. Begitu pula halnya dalam per­lucutan senjata di hotel Nitaka yang ketika itu merupakan tempat tinggal utama Jepang di kota Magelang.

Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, pasukan Yani ini dijadikan Batalyon 4, sedangkan Yani diangkat menjadi komandan batalyon dengan pangkat Mayor. Batalyon ini merupakan bagian dari Resimen XIV Magelang yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Sarbini. Resimen itu sendiri adalah bagian dari Divisi V Purwokerto di bawah pimpinan KoloneI soedirman.

Bulan-bulan Oktober dan November 1945 kota Magelang sempat men­jadi pusat perhatian. Pasukan Serikat yang mendarat tanggal 19 Oktober di Semarang, sebagian bergerak ke Magelang untuk melucuti pasukan Jepang dan membebaskan tawanan Serikat. Setelah tugas itu selesai, ternyata pasukan Serikat tidak bersedia meninggalkan kota tersebut. Sebaliknya mereka mempersenjatai bekas tawanan BeIanda. Tentu saja tindakan itu menimbulkan suasana tegang dengan pihak Indonesia yang kemudian meningkat menjadi bentrokan bersenjata. Dalam bentrokan bersenjata ini Batalyon 4 atau lebih dikenal dengan nama Batalyon Yani, ikut mengambil bagian. Mereka berhasil mendesak pasukan Serikat mundur ke Ambarawa dan bertahan di Benteng Willem I. Mulai tanggal 12 Desember 1945 pasukan TKR di bawah pimpinan Kolonel Soedirman melancarkan serangan serentak. Pertempuran berkobar sampai tanggal 15 Desember 1945 terkenal dengan nama PaIagan Ambarawa, berakhir dengan mundurnya Serikat ke Semarang.

Organisasi TKR berkembang dan namanya pun berganti menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Tidak lama kemudian menjadi Tentara Repu­blik Indonesia (TRI) dan akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam penyempurnaan organisasi, Batalyon Yani menjadi bagian dari Resi­men XIX Magelang, Brigade Nusantara, Divisi III. Sebagai kesatuan tempur, ia beroperasi terutama di front sekitar Semarang. Sewaktu Agresi Militer I Belanda, Batalyon Yani mendapat tugas menghambat gerakan Belanda dari Semarang ke arah selatan. Persenjataan yang tidak seimbang menyebabkan Belanda berhasil merebut beberapa front. Tetapi dalam pertempuran di Pingit, pasukan Yani dapat mengungguli lawannya. Pingit akhirnya dijadikan garis demarkasi antara daerah yang dikuasai Belanda dengan yang dikuasai RI.

Karena prestasi dinilai cukup baik, dalam buIan September 1948 pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Kolonel. Dengan pangkat yang baru itu ia tidak lagi memegang batalyon tetapi brigade yang diberi nama Brigade Diponegoro dari Divisi III. Brigade ini membawahi Batalyon Suryosumpeno, Batalyon Daryatmo dan Batalyon Panuju.

Jabatan itu baru beberapa hari dipegangnya ketika PKI melancarkan pemberontakan. Bersama-sama dengan pasukan lain, pasukan Yani turut serta menumpas pemberontakan itu, la mengirimkan Batalyon Suryosumpeno ke daerah sekitar Purwodadi, Grobogan. Belum sempat beristirahat lama setelah selesai menumpas pemberontakan PKI itu, tugas yang lebih berat sudah me­nanti. Tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresi militer untuk kedua kalinya.

Magelang diserang dari tiga jurusan, yakni dari Yogyakarta, Ambarawa dan Purworejo. Kota tempat kedudukan Yani ini terkepung. Tetapi ia tidak panik. Rencana yang sudah disusun tetap dijalankan. Magelang dibumi­ hanguskan dan seluruh pasukan dimundurkan ke tempat-tempat yang sudah ditentukan. Sesuai dengan taktik yang telah digariskan oleh Panglima Besar, dimulailah perang gerilya.

Dalam taktik gerilya itu dibentuk daerah militer yang disebut Wehrkre­ise (WK) yang dipecah atas beberapa Sub-Wehrkreise (SWK). Ahmad Yani ditunjuk menjadi komandan WK II yang meliputi wilayah Kedu. Beberapa batalyon ditempatkan di bawah kekuasaannya. Lawan yang dihadapinya ter­kenaI kejam, yakni Brigade Victoria di bawah pimpinan Letnan Kolonel Van Zanton.

Suatu kali pasukan Belanda berhasil mengepung Yani, ketika ia sedang mengadakan inspeksi ke Candiroto. Menghadapi situasi gawat itu, ia tetap tenang dan langsung mengambil alih pimpinan pertempuran. Kepungan Belanda berhasil digagalkan dan bahkan mereka dipaksa mundur.

 

Menegakkan Keamanan Dalam Negeri

Perang Kemerdekaan berakhir dengan diakuinya kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Tetapi bagi Ahmad Yani tugas belum selesai. Di Jawa Tengah terjadi gangguan keamanan yang ditimbulkan oleh gerombolan bersenjata. Daerah Kebumen dikacau oleh gerombolan Kyai Somolangu, di Kudus mele­tus pemberontakan Batalyon 426 di bawah pimpinan Mayor Munawar dan Kapten Alip. Di daerah sekitar Pekalongan dan Brebes kegiatan gerombol­an DI/TII semakin hari semakin meningkat.

Yani mendapat tugas baru yakni menumpas gerombolan-gerombolan tersebut. Sementara itu brigade yang dipimpinnya mendapat nama baru pula, yakni Brigade Q Praloga I sebab nama Diponegoro sudah dipakai untuk nama Territorium IV Jawa Tengah. Wilayah kekuasaannya meliputi daerah yang terletak antara Kendal dengan Semarang dengan Salatiga sebagai basis.

Untuk menumpas gerombolan DI/TII ini Yani melatih dua kompi, yakni Kompi Yasir dan Kompi Pujadi di Battle Training Center di Purworejo. Mereka diberi latihan khusus sesuai dengan medan yang dihadapi. Yani sendiri langsung memberi petunjuk. Unsur utama dari pasukan itu ialah serangan pendadakan. Hasil yang diperoleh cukup memuaskan. Serangan-serangan yang dilancarkan berhasil memperkecil daerah DI/TII. Dari pengalaman itu timbul gagasan membentuk batalyon Raiders sebagi pasukan inti. Gagasan ini direali­sasikan dengan terbentuknya Batalyon Banteng Raiders tanggal 25 Maret 1953. Komandan pertama adalah Kapten Hardoyo. Sejak saat itu operasi terhadap DI/TII semakin ditingkatkan dan akhirnya gerombolan tersebut berhasil ditumpas.

Prestasi-prestasi yang dicapai di Jawa Tengah perlu ditingkatkan lebih lanjut. Untuk itulah selama satu tahun yakni 1955-1956 ia disekolahkan pada Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Amerika Serikat.

Kembali ke tanah air, tugas baru menunggu di Markas Besar Angkatan Darat sebagai Asisten II (Operasi) untuk kemudian menduduki jabatan Deputy I (Operasi). Pangkatnya pun naik menjadi Kolonel.

Keahlian yang diperolehnya selama belajar di Amerika Serikat antara lain adalah mengenai operasi gabungan. Keahlian yang berupa teori itu diuji­nya dalam praktek ketika ia diangkat menjadi Komandan Operasi 17 Agustus. Operasi gabungan darat-laut-udara itu disiapkan untuk menumpas PRRI di Surnatera Barat. Waktu yang diberikan untuk menyiapkan rencana serangan sangat singkat. Tanggal 12 April 1958 ia masih berada di Jakarta memimpin rapat penentuan operasi. Lima hari kemudian ia sudah mendirikan markasnya di kota Padang, pusat kekuatan milik lawan.

Kembali dari operasi di Sumatera ia dipercayakan memangku jabatan Deputy II (pembinaan). Selain itu ia juga ditugaskan sebagai Deputy KSAD untuk wilayah Indonesia bagian Timur. Jabatan tertinggi diperolehnya seba­gai Kepala Staf Angkatan Darat. Tanggal 1 Januari 1963 pangkatnya dinaik­kan menjadi Mayor Jenderal dan setahun kemudian ia menjadi Letnan Jen­deral.

 

GUGUR DALAM PERISTIWA G.30S/PKI DAN DIANUGERAHI GELAR PAHLAWAN REVOLUSI 5 OKTOBER 1965

 Yani memangku jabatan Menteri/Panglima Angkatan Darat pada saat si­tuasi politik di tanah air didominasi oleh PKI. Berdiri di belakang Pemerintah sebagai partai yang paling anti terhadap pemberontakan PRRI, PKI sebenar­nya menyiapkan pemberontak baru. Dominasi PKI itu dimungkinkan oleh politik keseimbangan kekuatan (balance of power) yang digariskan oleh Presiden Sukarno. Garis politik itu menempatkan Angkatan Darat pada posisi yang sulit. Kesulitan itu terlebih-lebih dirasakan oleh Yani. Di situ pihak, sebagai militer yang menjunjung tinggi disiplin, ia harus patuh kepada Presi­den sebagai Panglima Tertinggi. Di pihak lain, ia tidak dapat menutupi rasa antipatinya terhadap PKI yang semakin hari semakin meningkatkan usaha untuk merongrong negara.

Rongrongan itu dirasakan pula dalam tubuh Angkatan Darat. Terhadap Angkatan ini dialamatkan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasarkan kebe­naran. Issue “Dewan Jenderal” dan Dokumen Gillchrist disebarluaskan dalam masyarakat. Dewan yang menurut versi itu dipimpin oleh Yani, dituduh ber­tujuan menilai kebijaksanaan politik Presiden. Sedangkan dalam Dokumen Gillchrist disebutkan keterlibatan Angkatan Darat dalam rencana serangan salah satu negara asing ke Indonesia.

Dengan dasar adanya ancaman negara asing itu, PKI rnelalui Presiden menuntut dibentuknya Angkatan Kelima. Untuk itu buruh dan tani yang merupakan massa PKI harus dipersenjatai. Dengan tegas gagasan pembentuk­an angkatan kelima ditolak oleh Yani. Begitu pula ia menolak gagasan Nasa­komisasi ABRI yang sebenarnya usul dari PKI. Pertentangan antara kedua. kekuatan itu tetap berlanjut. Serangan fisik berupa percobaan terhadap Angkatan Darat dilancarKan PKI dalam peristiwa Bandar Betsy, peristiwa Jengkol dan lain-lain. Antara Angkatan yang satu dengan lainnya dalam ABRI diadu domba, dan bahkan antara kesatuan-kesatuan dalam angkatan yang sama. PKI berusaha memudahkan cara untuk merebut kekuasaan negara. Puncak dari usaha itu ialah pemberontakan yang mereka lancarkan pada tanggal 30 September 1965 yang kemudian dikenal dengan nama G.30.S/PKI.

Sasaran pertama daTi pemberontakan itu adalah melumpuhkan Ang­katan Darat. Untuk itu maka pejabat-pejabat teras Angkatan Darat harus diculik dan dibunuh, termasuk Jenderal Ahmad Yani.

Di rumah yang terletak di ujung Jalan Lembang, Jakarta kira-kira pukul 05.00 tanggal 1 Oktober 1965 mbok Milah, pembantu rumah tangga Yani sudah bangun. Begitu pula Eddy, putra bungsu Yani. Sementara itu di luar rumah, kelompok penculik berhasil menyergap pasukan pengawal, dan setelah itu memasuki pekarangan. Sersan Tumiran dalam pakaian seragam Cakrabi­rawa (pasukan Pengawal Istana) masuk melalui pintu depan yang kebetulan tidak terkunci dan memerintahkan mbok Milah membangunkan Jenderal Yani. Pembantu rumah ini tidak berani dan karena itu Eddylah yang diperin­tahkan membangunkan ayahnya. Beberapa orang anggota penculik masuk melalui pintu samping dan menimbulkan suara bising yang menyebabkan terbangunnya semua anak-anak Yani.

Diberitahukan ada utusan yang menghadap, Jenderal Yani segera bangun dan keluar ke ruangan tamu belakang untuk menemui utusan terse­but. Tidak ada rasa curiga sebab yang datang itu adalah anggota Cakrabirawa, pasukan pengawal Presiden. Sersan Raswad yang memakai tanda pangkat Kapten melaporkan bahwa, Jenderal Yani diperintahkan Presiden segera menghadap ke Istana. Maka berlangsunglah dialog dan peristiwa di bawah ini :

Yani          :  “Baik, tunggu dulu, saya mau mandi,” sambil berbalik untuk masuk kamar.

Tumiran   : “Tidak usah mandi.”

Yani          :  “Baik, saya akan cuci muka dan berpakaian.”

Tumira      :  ”Tidak usah berpakaian.”

Jenderal Yani menjadi marah. Ia membalikkan badannya dan menempeleng prajurit yang berdiri persis di belakangnya sambil berkata, “Tahu apa kau prajurit.” Sesudah itu ia melangkah masuk ruangan tengah dan menutup pintu kaca. Prajurit yang ditempeleng itu adalah Praka Dokrin. Sersan Giyadi yang berdiri di samping Dokrin melepaskan serentetan tembakan Thomson ke arah Yani yang sedang membelakang. Peluru-peluru itu menembus pintu kaca dan kemudian mengenai tubuh Jenderal Yani. Jenderal Yani pun rubuh. Dalam keadaan berlumuran darah tubuhnya diseret ke pekarangan dan kemudian dilemparkan ke atas sebuah truk. Jenazahnya dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua di Lubang Buaya. Ke dalam sumur yang sama dimasukkan pula korban-korban lainnya.

Sumur itu ditemukan pada tanggal 3 Oktober 1965 setelah daerah Lubang Buaya dan sekitarnya dibersihkan dari gerombolan PKI. Pada Hari Ulang Tahun ke-20 ABRI, jenazah-jenazah korban pengkhianatan PKI itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kali Bata, Jakarta dengan, upacara militer yang khidmat dan mengharukan.

Tokoh Angkatan Darat dan ayah dari delapan orang anak itu memiliki tiga belas buah tanda jasa berkat pengabdiannya kepada negara. Berkat pe­ngabdian itu pula, setelah gugurnya, Pemerintah menganugerahkan kepadanya gelar Pahlawan Revolusi pada tanggal 5 Oktober 1965.

 

Pusjarah TNI

Jl. Gatot Subroto Kav. 16

Leave a Reply

Your email address will not be published.